CHAPTER 04: In Jail

18 7 0
                                    

Di dalam penjara yang suram dan penuh sesak, Soobin duduk menyendiri di pojok ruangan, menundukkan kepala dengan tatapan kosong. Jari-jarinya ia mainkan dengan gelisah, saling ia tekan seolah-olah menumpahkan rasa cemas dan frustasi yang membelenggunya. Lantai dingin terasa menusuk kulit, tapi Soobin hampir tak merasakannya; pikirannya terlempar jauh, terombang-ambing di tengah riuh suara orang-orang di sekelilingnya.

Di tengah ruangan, empat pria bertubuh besar saling bertukar kata-kata kasar, nada suara mereka memecah kesunyian penjara dengan nada tinggi dan penuh emosi. Mereka tampak tak peduli pada siapa pun di sekitarnya, termasuk Soobin yang duduk tak bergerak di sudut. Dorongan demi dorongan, tinju demi tinju, pertengkaran mereka semakin memanas, dan setiap gerakan terasa bagaikan dentuman bom yang siap meledak kapan saja.

Soobin sesekali melirik dengan hati-hati, menahan napas, berharap dirinya tetap tak terlihat oleh mereka. Di tengah hiruk-pikuk pertengkaran yang seakan tak ada habisnya, Soobin hanya bisa terus menyakiti jari-jarinya.

Seiring waktu berjalan, pertengkaran di tengah ruangan makin memanas. Salah satu pria bertubuh besar mendorong yang lain hingga terjatuh ke lantai dengan suara keras. Bentakan-bentakan penuh amarah memenuhi udara, sementara Soobin tetap duduk di sudut, tubuhnya makin mengecil, mencoba bersembunyi dari perhatian mereka.

Dia ingin bangkit dan pergi, tapi dinding dingin penjara dan jeruji besi yang kokoh membuatnya terjebak tanpa jalan keluar. Rasanya seperti udara di sekitarnya berubah menjadi beban yang menekan dadanya, mencekik napasnya sedikit demi sedikit. Telinganya berdengung karena kerasnya suara pertengkaran, tapi dia tak berani menutup telinga; gerakan sekecil apa pun bisa menarik perhatian mereka. Di dalam penjara, menjadi "terlihat" sering kali berarti bahaya.

Tiba-tiba, salah satu pria itu menoleh ke arahnya. Mata mereka bertemu, dan Soobin merasakan jantungnya berdegup semakin cepat. Pria itu tersenyum kecil, senyum yang tidak membawa kedamaian—justru penuh ancaman. Soobin tahu, sekali pria itu mendekat, pertahanannya akan runtuh. Rasa takut menyelubunginya, dan ia mulai memainkan jari-jarinya lagi dengan lebih keras, bahkan sampai menyakitinya.

"Hei, anak kecil, kau kenapa terus duduk di pojok seperti itu?" Suara berat pria itu terdengar menggema, menyedot perhatian orang-orang lain yang tadinya sibuk berkelahi. Mereka berhenti sejenak, melirik Soobin dengan tatapan yang penuh arti: antara mengejek dan mengancam.

Soobin tak menjawab, bibirnya kelu, napasnya semakin pendek. Seluruh tubuhnya seolah terkunci, dan semua rasa takutnya meledak di dalam dada. Pria itu semakin mendekat, sementara yang lainnya mulai berbisik-bisik, menyusun rencana jahat di balik senyum tipis mereka. Soobin merasakan bahwa detik-detik berikutnya mungkin menjadi momen yang tak terlupakan atau justru momen terakhirnya.

Pria itu semakin mendekat, langkahnya perlahan tapi pasti. Setiap langkah terdengar begitu berat, bergema di lantai penjara yang dingin dan keras. Soobin ingin berlari, tapi tak ada jalan keluar, hanya dinding dan jeruji yang membatasi ruang geraknya. Seluruh tubuhnya terasa menegang, seakan-akan terkunci di tempat.

Pria itu berhenti tepat di depan Soobin, menunduk sedikit, menyeringai dengan tatapan yang tak lepas dari wajahnya. Soobin mencoba menghindari kontak mata, tapi pria itu malah mencengkeram dagunya, memaksanya mendongak dan menatap langsung ke dalam matanya. Soobin merasakan jemari pria itu kasar dan dingin, seolah cengkeraman itu bisa meninggalkan bekas permanen.

"Kau anak baru di sini, ya?" tanya pria itu dengan nada dingin, penuh nada ejekan. Soobin tak menjawab, masih menahan napasnya. Dalam hatinya, ia berusaha mengumpulkan keberanian, tapi ketakutan itu sudah terlalu mendalam, membelenggu setiap kata yang ingin keluar dari mulutnya.

Melihat Soobin yang diam, pria itu tertawa kecil. "Ah, kau penakut," katanya sambil tertawa, membuat pria-pria lain di ruangan itu ikut tertawa dengan tawa yang sama—penuh ejekan dan intimidasi. Mereka mendekat, mengelilingi Soobin, menciptakan lingkaran yang membuatnya semakin terkepung.

the blood between us, txtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang