CHAPTER 02: Interrogation At The Police Station

18 4 0
                                    

Yeonjun berdiri di luar ruang interogasi, mengamati suasana tegang yang mengelilingi dirinya. Dalam hati, dia merasa harus turun tangan untuk menginterogasi Soobin, tetapi ketua timnya dengan tegas melarangnya. "Ini terlalu pribadi, Yeonjun. Kita harus menjaga objektivitas dalam kasus ini," ucapnya, mengingatkan Yeonjun akan tugasnya sebagai detektif.

Kekecewaan menggerogoti Yeonjun. Namun, dia tidak memiliki kuasa untuk melanggar perintah atasannya.

Akhirnya, Jung Wooyoung, rekannya, ditugaskan untuk mewawancarai Soobin. Wooyoung memasuki ruangan dengan sikap profesional, berusaha menutupi perasaannya yang bergejolak. "Choi Soobin," sapanya, "Saya di sini untuk melakukan interogasi terkait dengan kasus kematian Arin."

Soobin yang masih dalam keadaan terguncang, menatap Wooyoung dengan tatapan kosong. "Saya tidak tahu apa-apa," ujarnya, suaranya lirih, penuh kepedihan. "Arin ... dia tiada. Saya tidak melakukan apa pun untuk menyakitinya." Wooyoung mengangguk, mencoba merespons dengan empati. "Kami hanya ingin memahami apa yang terjadi. Bisakah kau memberitahu saya tentang hari terakhir yang kau habiskan bersama Arin?"

Soobin menarik napas dalam-dalam, berjuang melawan air mata yang hampir tumpah lagi. "Kami... kami hanya menghabiskan waktu bersama di apartemennya, merayakan ulang tahunnya. Kami tertawa, bercerita tentang masa depan. Tidak ada yang aneh," katanya dengan suara bergetar.

"Apakah ada orang lain yang datang menemui kalian? Siapa pun yang mungkin memiliki alasan untuk marah?" Wooyoung melanjutkan, berusaha menggali informasi lebih dalam.

Soobin menggelengkan kepala, "Tidak ada ... hanya kami berdua. Arin adalah orang baik. Dia tidak layak menerima ini."

Wooyoung memperhatikan perubahan emosi di wajah Soobin. Dia bisa merasakan betapa dalamnya rasa sakit yang dialaminya. "Saya percaya bahwa Anda tidak berniat melakukan apa pun yang merugikan Arin. Namun, kami perlu tahu semua yang bisa membantu penyelidikan ini," Wooyoung mencoba menenangkan.

Soobin menundukkan kepala, merasa terjebak dalam sebuah permainan yang tidak ia inginkan. "Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan. Semua ini terasa seperti mimpi buruk, dan saya hanya ingin kembali ke hari-hari bahagia kami," ungkapnya, menahan isak tangis.

"Choi Soobin, bisa kau jelaskan tentang ini?" Wooyoung mengeluarkan sebuah plastik transparan dari dalam tasnya, dan dari dalamnya muncul sebuah pisau sashimi berlumuran darah. Benda itu berkilau dalam cahaya ruangan interogasi, dan melihatnya, hati Soobin seketika mencelos sakit.

"Apa—apa itu?" suaranya bergetar, tidak percaya bahwa benda mengerikan itu berada di hadapannya. Wooyoung memperhatikan setiap reaksi Soobin, berusaha menilai apakah ketakutan dan kebingungan yang ditunjukkan oleh sahabatnya itu adalah tanda kebohongan atau kepanikan yang wajar.

"Ini ditemukan di tempat kejadian perkara, Soobin. Sidik jarimu ada di benda ini," Wooyoung menjelaskan dengan tenang.

Soobin menatap pisau itu dengan mata yang penuh ketakutan dan kebingungan. "Saya tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi! Saya tidak pernah menyentuhnya!" teriaknya, air mata mulai mengalir di pipinya. Rasa sakit dan ketidakberdayaan menggerogoti jiwanya.

"Cobalah untuk tenang. Saya di sini untuk membantu. Apa pun yang terjadi, kami perlu mendengar versi ceritamu," Wooyoung berusaha meredakan gejolak emosi.

Tiba-tiba, pintu ruang interogasi didobrak dengan keras, dan Park Jeong Woo masuk dengan langkah penuh percaya diri. Suaranya tegas dan autoritatif, "Kau terlalu lembut, Wooyoung. Dia tidak akan mengaku jika kau seperti ini. Biarkan aku yang menangani."

Wooyoung menoleh, terkejut dengan masuknya Jeong Woo yang langsung mengambil alih situasi. "Jeong-woo, tunggu sebentar! Kita perlu pendekatan yang lebih empatik di sini," ucap Wooyoung berusaha mempertahankan kontrol.

the blood between us, txtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang