CHAPTER 25: Meet to Leave

10 3 0
                                    

Di dalam ruangan yang kini gelap gulita setelah lampu tiba-tiba mati, Beomgyu perlahan mulai tersadar dari pingsannya. Kepalanya masih terasa sakit akibat benturan keras, dan napasnya terengah-engah. Penutup mata yang tadinya menutupi pandangannya kini sedikit longgar, memberikan harapan kecil untuk bisa melihat sekelilingnya.

Bau anyir darah tercium begitu kuat di ruangan itu, menusuk hidungnya dan membuat perutnya mual. Namun, Beomgyu berusaha mengabaikan bau itu, fokus pada satu hal: melarikan diri. Ia tak tahu persis apa yang terjadi, namun suasana mencekam di sekitarnya membuatnya sadar bahwa ini bukan sekadar mimpi buruk.

Di tengah keheningan, ia mendengar suara langkah kaki pria lain, terdengar kesal dan tergesa-gesa. Pria itu bergumam marah, lalu membuka pintu dan keluar, meninggalkan Beomgyu sendirian di dalam kegelapan.

Dengan gerakan hati-hati, Beomgyu mulai menggerakkan tangannya. Ikatan pada pergelangan tangannya ternyata tak begitu kencang, dan setelah beberapa kali menariknya, ia berhasil membuatnya sedikit melonggar. Beomgyu menahan napas, terus menggoyangkan tangannya hingga akhirnya ikatan itu terlepas. Dengan cepat, ia melepas penutup matanya, matanya berusaha menyesuaikan diri dengan kegelapan yang hanya diselingi cahaya samar dari luar ruangan.

Begitu tangannya berhasil bebas, Beomgyu mengucap syukur dalam hati, merasa Tuhan masih memberinya kesempatan untuk melarikan diri. Napasnya masih terengah-engah, tetapi ia berusaha tetap tenang. Tanpa membuang waktu, ia segera membungkuk, meraih tali yang mengikat kakinya. Jemarinya bekerja cepat meski gemetar, menarik dan mengendurkan simpul tali itu.

Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ikatan di kakinya pun akhirnya terlepas. Beomgyu menghela napas lega, meski ketegangan di dadanya tak berkurang sedikit pun. Bau anyir yang semakin kuat dan bayangan apa pun yang telah terjadi di ruangan itu membuatnya ingin segera pergi.

Beomgyu berdiri pelan, menahan rasa sakit di kepalanya akibat benturan sebelumnya. Dengan langkah perlahan, ia bergerak menuju pintu, berusaha tidak membuat suara. Jantungnya berdegup begitu kencang hingga terasa di telinga, namun ia tak peduli. Yang ada di pikirannya hanyalah menemukan jalan keluar sebelum seseorang menyadari bahwa ia telah bebas.

Saat Beomgyu melangkah perlahan menuju pintu, telinganya menangkap suara lirih dari ruangan lain. Suara itu terdengar seperti isakan yang dipenuhi keputusasaan, dan hanya satu kalimat yang berulang kali terdengar, nyaris seperti bisikan.

"Taehyun … Taehyun… Taehyun, maafkan aku …"

Beomgyu berhenti sejenak, tubuhnya menegang. Ia mengenali suara itu—suara yang tak mungkin ia lupakan. Itu Soobin. Namun, suara Soobin terdengar begitu hancur, penuh rasa bersalah yang mendalam. Beomgyu menggigit bibirnya, rasa penasaran bercampur ketakutan memenuhi dadanya. Apa yang sebenarnya telah terjadi pada Taehyun?

Mengumpulkan keberanian, Beomgyu bergerak lebih dekat ke arah suara itu, berharap bisa menemukan Soobin dan membawanya pergi sebelum mereka tertangkap lagi.

"Kak Soobin!" Beomgyu memanggil dengan setengah berbisik, berusaha agar suaranya tak terdengar oleh siapa pun selain orang yang berada di balik dinding itu.

Suara tangisan di seberang ruangan itu terhenti. Beomgyu merapatkan telinganya ke tembok tipis dari triplek, mendengarkan dengan saksama.

"Beomgyu … kau ada di sana?" suara Soobin terdengar lemah namun penuh harapan.

"Ya, Kak. Kau ada di sebelah ruangan ini?" tanya Beomgyu, suaranya bergetar antara lega dan cemas.

"Iya, Beomgyu-ya … tolong aku," jawab Soobin pelan, dengan nada putus asa.

Beomgyu mengamati tembok triplek di hadapannya, mencari celah atau bagian yang mungkin bisa ia dobrak. "Kak, bertahan sebentar. Aku akan coba membukakan pintu atau mencari cara lain untuk mengeluarkanmu," ucapnya.

Beomgyu mengedarkan pandangannya ke sekitar ruangan, mencari apa saja yang bisa ia gunakan untuk membuka pintu atau merusak dinding triplek tipis di antara mereka. Tangannya terulur menyentuh triplek itu, mendorong dan menekan, berharap bisa menemukan titik lemah.

"Kak Soobin, aku akan mencoba mendobrak dari sini."

Beomgyu memundurkan diri, bersiap menghantam triplek di hadapannya dengan bahu dan seluruh kekuatan yang ia miliki. Tanpa menunggu lebih lama, ia menabrakkan tubuhnya ke dinding itu. Terdengar suara kayu yang retak, dan triplek itu mulai menunjukkan tanda-tanda melemah.

Soobin, yang masih terikat di dalam ruangan, hanya bisa menunggu dengan tegang. "Beomgyu … cepat," bisiknya, napasnya tertahan penuh harap.

Beomgyu mundur sedikit lagi, lalu dengan satu teriakan kecil, ia menghantamkan bahunya sekali lagi ke dinding. Triplek itu akhirnya pecah, terbuka cukup lebar sehingga Beomgyu bisa masuk.

Begitu ia masuk, pandangannya langsung tertuju pada Soobin yang terikat di kursi, wajahnya penuh luka dan mata basah. Tanpa membuang waktu, Beomgyu bergegas menghampiri, tangannya bergerak cepat untuk melepaskan tali di pergelangan tangan Soobin.

Begitu ikatannya terlepas, lalu tanpa ragu, ia memeluk tubuh Beomgyu yang lebih kecil darinya. Air matanya mengalir deras, tangisnya pecah dalam pelukan Beomgyu, penuh dengan rasa bersalah, ketakutan, dan kelegaan yang bercampur menjadi satu. Histeris, ia menumpahkan semua emosinya, bahunya terguncang hebat di dalam pelukan Beomgyu.

Beomgyu terdiam, sedikit bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa mengelus punggung Soobin perlahan, meski pikirannya masih terkejut oleh semua yang baru saja terjadi.

"Kak … kita harus segera pergi dari sini," ucap Beomgyu pelan, berusaha menenangkan Soobin yang masih terisak.

Namun Soobin tidak merespons langsung, hanya mempererat pelukannya, seolah takut kehilangan lagi. "Maafkan aku … aku seharusnya bisa melindungi kalian …" ucapnya dengan suara parau di antara tangisnya.

"Kak, kita akan bicara soal itu nanti," bisik Beomgyu lembut. "Yang penting sekarang, kita harus keluar dari tempat ini sebelum mereka menyadari kita kabur."

"Oh, iya. Taehyun di mana?" tanya Beomgyu tiba-tiba, matanya berbinar penuh harap meski napasnya masih tersengal. "Kita harus menyelamatkannya juga."

Soobin terdiam, tubuhnya seolah membeku. Wajahnya yang sudah pucat kini semakin kehilangan warna, dan matanya tampak kosong, penuh kesedihan. Perlahan, ia mengulurkan tangannya, menggenggam telapak tangan Beomgyu dengan erat, begitu erat hingga Beomgyu merasa ada yang tak beres.

"Ada apa, Kak?" tanya Beomgyu, bingung, tapi mulai merasa cemas dengan tatapan Soobin yang menghindari matanya.

"Di mana Taehyun?" desaknya lagi, nadanya berubah menjadi panik.

Soobin terpejam, menarik napas panjang yang terdengar berat. Ia berusaha keras menahan air matanya, tapi isak kecil akhirnya keluar dari bibirnya. Ia menatap Beomgyu dengan mata yang basah, lalu dengan suara yang bergetar ia berbisik, "Beomgyu … Taehyun sudah tiada."

Beomgyu terpaku. Kata-kata itu terasa seperti pukulan keras yang menghantam dadanya. "Tidak … Taehyun …?" bisiknya, nyaris tak percaya. Ia mengguncang bahu Soobin, seolah berharap penjelasan lain, seolah berharap ini semua hanya mimpi buruk.

"Dia … sudah meninggal, Beomgyu," ulang Soobin, suaranya pecah, dan air mata mengalir deras di pipinya.

Beomgyu hanya bisa terdiam, napasnya tersengal dan tubuhnya lemas. Dunia seakan runtuh di hadapannya. Kenyataan itu, bahwa Taehyun—teman mereka yang begitu dekat, begitu berharga—sudah tiada, menimbulkan luka yang terlalu dalam untuk bisa dijelaskan.

Tiba-tiba, samar-samar terdengar suara pijakan kaki yang mendekat dan suara orang-orang berbicara dari kejauhan. Soobin tersentak, tubuhnya langsung tegang. Matanya membelalak penuh ketakutan, lalu dengan cepat ia menepuk bahu Beomgyu, gemetar dan tergesa-gesa.

"Ayo pergi! Pergi! Mereka akan membunuh kita …" bisiknya panik, suaranya tercekat dan matanya berkaca-kaca. Rasa takut terpancar jelas di wajahnya.

Beomgyu tak perlu mendengar dua kali. Ia segera bangkit, menarik tangan Soobin, dan mereka bergerak dengan langkah sepelan mungkin, berusaha untuk tidak mengeluarkan suara. Napas mereka pendek dan terputus-putus, jantung berdebar kencang sementara mereka melangkah dalam kegelapan, hanya berharap ada jalan keluar di ujung sana.

the blood between us, txtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang