Sebelum mereka terlalu jauh terbawa arus, Lara mengalahkan hasratnya demi menjaga apa yang selama ini sudah susah-payah dia bangun. Dia mendorong kedua pundak Raka hingga membuat pria itu terpaksa harus menarik bibirnya dari bibir Lara ketika masih berpaut hangat.
Raka tampak terbawa arus, sampai-sampai membuatnya lupa kalau sebelum ini dia sudah jatuh-bangun mempertahankan bentengnya. Dalam sekejap, semuanya langsung runtuh.
Tidak. Masih belum. Mereka masih berciuman dan bercumbu. Meski itu sudah cukup berbahaya, setidaknya mereka masih punya kesadaran untuk tak meneruskannya sampai ke tahap paling fatal.
"Lo butuh dekat sama gue, apa cuma untuk ini?" bisik Lara. Matanya menatap Raka dengan penuh dan dalam, sementara bibirnya secara samar mengukir senyum sedih. "Mungkin sebenarnya lo bisa hidup tanpa gue, tapi lo belum nemu partner seks yang baik selain gue."
Raka terdiam. Jakunnya yang naik-turun cukup untuk menyiratkan pada Lara bahwa pria itu tak punya kata-kata untuk menyanggah. Memahami itu, hati Lara semakin nyeri.
"Lo nggak butuh gue, Ka. Lo cuma butuh orang kayak gue buat ngelayani nafsu lo." Lara tersenyum pahit. Matanya juga sudah mulai berkaca-kaca. "Kalau lo beneran cinta sama gue ... lo nggak bakal seret gue ke situasi ini. Gue nggak tau bakalan butuh berapa lama buat gue ngerasa bersalah karena ini, walaupun kita belum bener-bener ngelakuin itu."
Mengandalkan tenaga yang dia punya, Lara mendorong dada Raka hingga berhasil lepas dari perangkap pria itu. Raka yang menyadari dirinya sudah salah pun, kian merasa pelik saat melihat Lara memasang kembali hijabnya sambil menangis.
Perasaan bodoh menyergap Raka dari segala sisi. Dia bukannya tidak cinta dengan Lara. Dia hanya terbawa suasana dan tak bisa mengontrol diri. Bagaimanalah menjelaskannya. Dijelaskanpun, Lara sudah tak mau melihat wajahnya dan mendengarkannya.
"Ra ...."
Lara menepis tangan Raka saat dia beranjak membawa kotak P3K-nya. Raka ikut bangkit dari sofa dan mengejar Lara yang melangkah cepat menuju pintu. Dia mencoba menggamit tangan Lara, namun Lara lagi-lagi menepis tangannya. Sampai akhirnya Raka secara impulsif menahan pintu dengan cara berdiri membelakangi pintu itu agar Lara tak keluar dari rumahnya.
Lara mendongak dengan kening mengernyit. Matanya sudah basah. Dia juga tampak marah. Agaknya dia benar-benar terluka. Apa dia berpikir Raka mempermainkan dirinya?
"Minggir," titah Lara dingin. Tapi Raka tak mengindahkan perintahnya.
"Gue mau kita ngulang semuanya dari awal." Raka menatap Lara sungguh-sungguh. "Gue mau kita balikan ... nikah, dan tinggal bareng-bareng lagi ...."
Lara menyeringai. "Lo pikir gue bakalan gegabah buat nikah lagi? Apalagi sama laki-laki yang nggak takut dosa kayak lo?"
Raka bungkam. Bungkamnya membuat Lara berkesempatan untuk menggeser paksa tubuh Raka dan membuka pintu. Saat dia berhasil keluar, Raka lagi-lagi mencoba menggamit tangannya.
Kali ini Lara tak bisa lagi langsung menepis. Sebab, Raka mencengkeramnya sangat erat.
"Gue khilaf," kata Raka. "Khilaf kayak tadi bukan berarti gue selalu sembrono nantang dosa, Ra .... Gue udah berusaha buat berubah semaksimal mungkin ...."
Lara tersenyum tipis. "Alasan lo gue terima. Tapi nggak untuk lain kali. Dan lo nggak usah ngimpi kita bisa balikan lagi. Nggak ada kamus balikan dalam hidup gue sampai kapan pun. Lo nikmatin aja rasa sakit lo, kesepian lo. Gue juga bakal nikmatin rasa sakit dan kesepian gue. Dengan begitu kita bisa adil satu sama lain tanpa harus maksain keadaan."
Cengkeram Raka melemah. Lara langsung mengambil peluang untuk membebaskan diri dari jerat Raka. Sebelum benar-benar pergi, Lara mengucapkan kalimat yang cukup ampuh membuat Raka menyerah menahannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Membenci Mantan
Romance"Aku nggak bisa jatuh cinta lagi, karena cintaku habis di kamu." ------------- Perceraian kedua membuat Lara memutuskan untuk sendirian seumur hidupnya. Di luar kendalinya, Raka si pembalap kondang kembali hadir di kehidupannya. Lara yang membenci R...