Part 23

6.8K 319 13
                                    

Yok baca bab sebelumnya dulu.


==========================================

BAGIAN 

DUA PULUH TIGA (23)

==========================================



"Saya belum pasti balik ke kantor."

"Sisa jadwal rapat yang tidak akan saya hadiri, tolong wakilkan saya di sana."

Nusra memberikan perintah pada direktur keuangan perusahaan yang merupakan staf paling dipercayai untuk menggantikannya dalam bertemu para kolega bisnis penting.

Hari ini, ada satu agenda rapat dengan klien berasal dari Singapura. Jadwalnya tercatat pukul empat sore nanti.

Harusnya ia datang sebagai CEO utama.

Namun karena ada masalah mendesak lain harus diselesaikan, maka ia memutuskan absen dalam pertemuan kali ini.

"Tinggal tandatangani MoU. Saya sudah mempelajarinya sejak kemarin." 

Nusra memberikan instruksi.

"Terima kasih, Pak Rendraf," ucapnya sekali lagi, sebelum mengakhiri panggilan.

Pembahasan mereka sudah usai, jadi tidak perlu memperpanjang lagi obrolan. Tentu ia akan menunggu hasil rapatnya nanti.

Kini, fokusnya bisa dialihkan sejenak pada prakara rumah tangganya dengan Acintya.

Tentu akan dilakukan penyelesaian terbaik dan menyelamatkan pernikahan mereka.

Sekeras apa pun Acintya meminta untuk bercerai, tak akan pernah dikabulkan. Ia wajib bertahan untuk pernikahannya.

Cklek.

Indera pendengarannya memang dipasang dengan tajam, sehingga bisa mendengar suara pintu kamar putranya ditutup.

Dan tampaklah sosok sang istri.

Segera dihampiri wanita itu. Tentu akan ia ajak untuk bicara empat mata di ruangan kerjanya agar tidak sampai mengganggu Arjuv yang tertidur di dalam kamar.

"Akan saya jelaskan semua," ujarnya saat berhasil diraih lengan sang istri.

Lalu, dirangkul bahu Acintya. Dibimbing wanita itu menuju ke tempat tujuan.

Dan tidak ada perlawanan dari Acintya. Meski diamnya sang istri tak disukai.

Mereka pun sampai cepat di dalam ruang kerjanya yang memang masih berada di lantai satu, beberapa blok dari kamar tidur ditempati oleh putra kecilnya.

"Duduk dulu." Nusra mengajak Acintya ke arah sofa. Lagi-lagi sang istri menurut.

"Kita akan selesaikan masalah kita tanpa ada perceraian. Saya tidak akan setuju."

Nusra tentunya perlu memperjelas hal ini karena tidak ingin mendengar sang istri membicarakan lagi nanti.

Dan Acintya masih diam. Tak merespons apa pun. Bahkan menghindari kontak mata dengan dirinya, dipalingkan wajah.

Nusra kian tidak nyaman akan situasi di antara mereka yang begitu tegang dan bisa saja membuat emosinya kian meledak.

Segera diambil surat peninggalan Newara Dyatmika yang disimpan apik di brankas rahasia. Akan diperlihatkan ke Acintya.

Tak ketinggalan juga dokumen paternitas miliknya, walau sudah diketahui sang istri.

Dalam hitungan lima menit saja, ia sudah kembali ke sofa. Lalu, memberikan pada Acintya. Tentu, wanita itu menerimanya.

"Semua jawaban ada di dalam sini."

"Setelah kamu tahu, mungkin kamu tidak akan marah lagi dengan saya, Acintya."

Ucapan sang suami diabaikannya. Ia ingin fokus membaca surat mendiang mantan suaminya untuk tahu semua kebenaran.

Detak jantungnya tak berhenti berdegup kencang, seiring besar kegugupannya.

Ini Newara Dyatmika.

Mungkin saat suratku diterima oleh Bang Nusra dan Acintya, aku sudah tidak ada di dunia bersama kalian berdua.

Melalui surat ini, aku ingin mengakui dosa sudah menjebak kalian tidur bersama. Aku cuma ingin keluargaku punya keturunan.

Aku tidak bisa menyukai perempuan. Aku harus memanfaatkan abangku sendiri.

Dan Acintya adalah wanita yang tepat untuk mengandung keturunan Dyatmika.

Maaf aku sudah bertindak buruk dengan rencanaku ini. Tolong maafkan aku, Bang 

Sampaikan maafku pada Acintya.

Sekian yang bisa aku sampaikan. Tolong berikan maaf untuk kelicikanku ini.

Selesai.

Ya, telah tuntas dibacanya semua pesan di dalam surat peninggalan mendiang sang suami. Namun kesimpulannya masih saja ambigu. Belum dipahami menyeluruh.

"Acintya ...,"

Panggilan sang suami segera direspons. Ia memandang ke mata Nusra Dyatmika.

"Yang tidur bersama kamu di Amerika wakti itu bukan Newara, tapi saya."

"Saat kita dalam pengaruh minuman soda yang diberi obat perangsang, saya bercinta dengan kamu sampai kamu hamil."

"Saya baru tahu setelah menerima surat dari almarhum adik saya, waktu Arjuv lahir. Saya langsung melakukan tes DNA."

"Hasilnya memang Arjuv anak saya."

"Kenapa saya menyembunyikan semua dari kamu hingga hari ini? Karena saya punya kecemasan kamu akan pergi."

"Apalagi tiga tahun kita menikah, kamu belum bisa mencintai saya. Ada ketakutan besar dalam diri saya kamu akan pergi."

"Saya salah karena sudah me–"

"Aku benci dibohongi, Mas." Acintya pun memotong. Diutarakan apa yang membuat dirinya merasa marah sampai saat ini.

Terlebih menyangkut fakta yang penting.

"Saya minta maaf untuk kekeliruan saya yang selama ini berbohong. Saya salah."

"Saya tidak akan melarang kamu marah dengan saya karena wajar kamu marah."

"Tapi, kita tidak akan bercerai. Saya mulai mencintai kamu, Acintya. Saya ingin bisa tetap bersama kamu dan memperta–"

"Kita tidak bisa bercerai, Mas."

Nusra tentu kebingungan dengan apa yang dikatakan oleh sang istri. Lalu bagaimana? Sungguh, ia belum memahami situasi ini.

"Aku lagi hamil anak kedua kamu. Aku nggak mau anakku tanpa ada ayahnya."

"Kamu apa? Hamil?" Nusra jelas kaget.

Sang istri hanya mengangguk pelan

Tentu jawaban tersebut amatlah jelas bagi Nusra. Ia lega bukan main. Ingin sekali berteriak kencang. Namun akhirnya dipilih untuk memeluk erat sang istri. 

"Terima kasih, Acintya. I love you."

Peran Ayah Pengganti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang