~1~

6.5K 146 2
                                    

Edited

Pindah rumah.

Dua kata yang cukup membuatku uring-uringan beberapa hari terakhir ini. Karena pindah rumah kali ini, juga berarti pindah kota, pindah sekolah, dan pindah-pindah yang lainnya. Ini semua karena kemauan konyol papa yang bosan tinggal di tengah keramaian kota Jakarta. Papa ingin pindah ke Bogor, di salah satu rumah yang baru dibelinya 3 bulan lalu.

"Zein, gue sedih deh harus pindah kesini." Suara manja kembaranku, Reina, membuyarkan lamunanku.

"Masih banyak cowok ganteng disini...yah tapi jangan kaget kalau lebih udik." jawabku enteng. Reina cemberut lalu bergegas meninggalkanku.

Aku harus bisa menemukan cara agar aku bertahan di kota ini. Sebaiknya aku memikirkannya besok, sekarang waktunya tidur. Besok harus sekolah dan aku tak tahu kejutan apa lagi di sekolah baruku nanti.

--- ---

Aku dan Reina diantar sopir ke sekolah. Jarak rumah ke sekolah tak terlalu jauh. Hanya saja kalau jalan kaki aku tak yakin kembaranku tidak protes.

"Zein, gue udah cantik kan?" Reina tak henti mengutarakan pertanyaan yang sama sejak 15 menit yang lalu.

"Apa guna cermin di tanganmu, Nona?" sahutku asal.

Ia mendengus kesal, "Gue kan minta pendapat lo. Ngeselin banget sih,"

"Lo tahu kan, kalau cermin nggak pernah dusta?Nah, kalau gue?"

Reina mengercutkan bibirnya tanda kesal. Dia yang cerewet dan aku yang malas dicereweti. Kombinasi yang pas.

Sampai di sekolah baru, kami berdua menanyakan dimana kelas kami kepada bagian tata usaha.

"Silahkan naik di lantai 2, ruang kelasnya disamping kanan tangga. Kelas 11 Orbit, namanya." Petugas tata usaha menjelaskan letak kelas kami.

Kami berdua naik ke lantai 2. Oke, bangunan sekolah ini tak mengejutkanku. Sekolah ini termasuk sekolah elit. Ada 5 bangunan berbeda didalam kompleks sekolah ini. Fasilitasnya cukup bagus, menurut pengamatan singkatku.

Sampai didepan pintu kelas, Reina yang berjalan didepanku tiba-tiba berhenti.

"Kenapa?" tanyaku. Jari tangannya mengisyaratkan agar aku masuk duluan. Hm, Reina pasti malu. Kenapa harus peduli dengan sorakan orang-orang yang belum kita kenal?

Aku masuk mendahului Reina. Kelas yang semula tenang jadi heboh saat aku masuk ke dalamnya. Reina mengekor di belakangku.

"Pagi, Bu. Kami siswa pindahan." kataku 'berusaha' ramah pada guru yang sedang mengajar di kelas ini.

Guru ramah itu tersenyum lalu mengisyaratkan agar kami mengenalkan diri.

"Aku Zeina Alisyia. Panggil saja Zein." Anak-anak kampung itu bersorak tak jelas setelah aku selesai."Giliranmu, Sayang." aku berbisik di telinga kanan Reina. Namun aku menangkap kegugupan di mata kembaranku.

Aku maju selangkah, "Ini kembaranku, Reina Aisha. Panggil dia..."

"Reina. Jangan Rein, itu terdengar seperti cewek jadi-jadian." Reina melanjutkan kalimatku. Sialnya, anak-anak kelas ini terbahak mendengarnya.

Ya, kami memang kembar.Tapi sifat kami jelas bertolak belakang. Reina selalu menutupi muka dengan lumpur putih yang sering kusebut 'dempul'. Tak lupa memberinya semen bubuk yang sering ia sebut 'bedak'. Namun ia tak pernah cacat menghias wajahnya. Setidaknya, itu menurutku.

"Kalian boleh duduk." guru ramah itu mempersilakan.

Teman-teman baruku kembali berisik. Mereka mulai tenang saat bu guru -yang kuketahui dari name tag- bernama Bu Lisa itu melanjutkan mengajar.

Dark Heart  (SUDAH TERBIT E-BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang