~13~

1.1K 65 1
                                    

Shock!

Antara percaya dan tidak.

"Kalian bercanda, kan?" tanyaku memastikan.

Fadli menggeleng kuat, "Urusan penting kayak gini, kita nggak mungkin bercanda".

Aku bangkit meninggalkan mereka tanpa sepatah kata. Pikiranku mendadak buram. Langkah gontaiku membawaku ke arah kelas. Aku harus memastikannya sendiri!

"Dari mana, Zein? Kelas sudah mulai 10 menit yang lalu dan kamu masih sibuk melamun?! Cepat masuk!" suara bu Reni mengejutkanku.

Aku segera masuk kelas dan duduk di tempatku. Raut wajah bu Reni masih saja seperti baju belum disetrika. Sepertinya aku harus melakukan kesalahan lagi dengan bu Reni karena sepanjang pelajarannya, aku sibuk memikirkan perkataan Tasya.

zzzzzz

Sampai di rumah, aku kesal karena ulah Reina. Kembaranku itu meringkuk di bawah meja makan dengan tangan memeluk lutut. Bahunya bergetar. Pikiranku yang sudah ribet dari tadi bertambah kadarnya karena melihat Reina.

"Cengeng," kataku pelan tapi kurasa Reina mendengarnya. Aku berniat langsung ke kamar tanpa menggubris Reina.

"Zein," langkahku terhenti, namun aku tetap di posisi yang sama. Tanpa berbalik.

Reina sesenggukan, "Lo mau denger cerita gue nggak?" katanya parau. Aku berbalik menghadapnya. Kurasa, dia hanya akan menceritakan hal-hal bodoh.

"Pikiran gue udah butek, nggak usah lo tambahin!" sahutku pedas lalu beranjak ke kamar.

Saat kalian terbiasa dengan sikap seseorang yang selalu mengganggu lalu ternyata ia benar-benar 'pengganggu', maksudku ia seorang dalang kejahatan yang menimpamu. Itu yang kurasakan. Aku tak bisa berpikir. Sungguh. Aku terlalu kecewa, mungkin.

"Zein..." seseorang memecah lamunanku. Mama.

Aku hanya memandanginya sekilas lalu beranjak dari duduk.

"Ada yang mencarimu, Nak" kata mama menghentikan langkahku.

"Siapa?" tanyaku malas.

"Kamu temui dulu aja, nanti juga tahu," ujar mama misterius.

Aku menerka-nerka siapa yang mencariku sepulang sekolah seperti ini. Kenapa tidak menemuiku saat...

"Lo?" aku membeku. Bukan karena senang, tentu saja bukan. Aku hanya belum siap menemuinya setelah aku tahu siapa dia sebenarnya.

Ia tersenyum tipis. "Lo pasti udah denger dari Fadli, kan?"

Aku terkejut.

Dia tahu. Ini bentuk tersirat kalau dia 'mengakuinya', kan?

"Santai aja, Zein. Gue nggak seburuk yang lo pikir tapi apa yang dibilang Fadli...anggap aja itu benar," ujarnya sambil tersenyum kecut.

"Gue nggak nyangka, lo sejahat itu. Gue nggak papa kalau lo ganggu gue setiap hari, gue udah terbiasa. Tapi kejadian kemarin itu...itu bikin gue takut, Ray. Setelah tahu kalau dalangnya lo, gue nggak tahu harus gimana. Sakit, kecewa, kesel, huh gue nggak bisa jabarin satu-satu," kataku lalu menarik napas,"mending lo pergi dari sini, gue lebih nggak tahu harus gimana kalau lo ada disini."

Ray mendesah frustasi. Ia mengusap wajahnya kasar, "Gue pergi. Anggap semua omongan Fadli benar, sebisa mungkin gue nggak akan muncul didepan lo. Jangan khawatir," katanya berat lalu pergi.

Aku terduduk di sofa. Untuk pertama kalinya aku menangis karena seseorang. Bukan karena patah hati kurasa, tapi lebih karena kecewa.

zzzzzz

Ada yang baca nggak sih cerita abal guee? wkwkw

Dark Heart  (SUDAH TERBIT E-BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang