~29~

1.3K 50 0
                                    

Pagi-pagi sekali aku sudah berkutat di dapur. Bahkan Ray belum bangun. Bukan tanpa tujuan aku memasak pagi-pagi seperti ini.

Aku sadar kemampuan memasakku belum seberapa, karenanya butuh waktu lebih lama untuk menyiapkan sarapan yang tidak biasa.

"Kukira kau pergi," suara Ray, khas orang bangun tidur. Aku sedikit terkejut. Bukan karena suaranya yang cukup 'menggoda' tapi karena pelukannya di pinggangku dengan dagunya yang bertengger di bahu kiriku.

"Apa yang kau lakukan? Kau menggangguku," kataku sambil berusaha melepas pelukannya.

"Kau memasak pagi-pagi sekali dan itu menggangguku," sahutnya.

"Apa maksudmu? Aku tidak mengganggu tidurmu."

"Aku terbiasa tidur memelukmu dan saat kau bangun, tidurku sangat terganggu."

Aku mengernyit heran. Apa ia mengigau atau semacamnya?

"Ray, jangan karena kita sudah tinggal di rumah sendiri lalu kau bertindak semaumu. Lepaskan pelukanmu dan kembali tidur di kamar, lagipula waktu subuh masih satu jam lagi."

"Baiklah, tapi kau ikut tidur denganku."

"Aku harus menyiapkan sarapan."

"Kau bisa melakukannya setelah subuh," katanya memaksa.

"Tidak. Aku ingin membuat sesuatu yang tidak biasa. Karena kemampuan memasakku masih kurang, kupikir membutuhkan waktu lebih lama."

Ray mengeratkan pelukannya, "Aku akan membantumu tapi nanti saja setelah subuh. Sekarang kau temani aku tidur."

"Tapi..."

Cup.

Ray. Mengecup. Pipiku. di pagi buta.

"Tidak menerima penolakan," lalu ia menggendongku ke kamar kami.

Kukira kami akan tidur dengan 'tidur' yang sebenarnya. Ray menghapus kekhawatiranku selama beberapa bulan ini. Ya, sepertinya Ray tidak memberikanku pada Chris secara utuh.

zzzzzz

Aku selesai mandi dan Ray masih meringkuk di bawah selimut.

Dasar pemalas!

"Ray, mandilah. Aku menunggumu, kita sholat berjamaah." Aku mengguncang bahunya. Ia tampak membuka matanya lalu mengangguk. Sejurus kemudian, Ray berjalan ke kamar mandi dan aku menunggunya dengan bertilawah.

Tak lama kemudian kami sholat berjamaah.

"Kau imam terbaikku," kataku saat mencium tangannya. Ray mengangkat sebelah alisnya lalu kembali berbalik dan melanjutkan berdoa.

"Aku hanya berusaha. Kau tak perlu memujiku," sahutnya sambil melepas sarung. Ray sering mengenakan sarung. Mungkin kebiasaan saat ia masih tinggal di Indonesia.

"Aku tidak memuji hanya...mengutarakan pendapat. Lagipula, aku tidak perlu imam selain kau. Cukup kau, sekarang dan nanti." Kupikir ini caraku mengatakan 'kita tidak akan berpisah sampai kapanpun' secara tersirat. Jujur saja, rekaman yang ditunjukkan Chris masih menggangguku.

Ray duduk di tepi ranjang dengan sebuah buku tebal di tangannya, "Ya, kau hanya butuh satu imam dan itu aku." Ia tersenyum sekilas lalu menarikku ke dalam pelukannya.

Jangan terlalu baik padaku, Ray. Aku hanya takut suatu saat kau lupa pernah membuatku menjadi wanita paling bahagia.

"Ada yang mengganggumu?" Ray bertanya dan aku mengangguk cepat, "aku tidak ingin mendengar jawaban seperti tadi malam," tambahnya.

"Boleh aku bertanya sesuatu?" Ray mengangguk. "Apa...apa kau berniat memberikanku pada orang lain?"

Ray menatapku dengan pandangan tak mengerti. Ia menutup bukunya lalu meletakkannya di atas nakas. Kedua tangannya merangkum wajahku.

"Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?"

Aku menunduk. Air mataku mulai berdesakan keluar.

Apa aku harus jujur padanya?

"Kemarin aku bertemu Chris," aku masih menunduk, "ia menunjukkan sebuah rekaman dan...itu suaramu. Kau...huft aku tak sanggup mengatakannya."

Ray mengusap kepalaku lembut, "Katakan semampumu, Zein."

"Suatu saat kau akan memberikanku pada Chris setelah kau menikahiku. Jadi kupikir, cepat atau lambat kita akan bercerai," aku berhasil mengatakannya dengan susah payah. Tetap menunduk dan mencengkram erat lengan Ray.

Ray mengangkat wajahku. Kedua ibu jarinya menghapus air mata yang tak dapat kukendalikan. Kemudian ia mengambil ponselnya. Mencari sesuatu dan menunjukkan sebuah rekaman. Kali ini bukan rekaman suara, melainkan rekaman video.

Tampak Chris, Ray, dan beberapa orang yang tidak kukenal. Chris mendekati Ray yang tidak dapat bergerak karena kedua tangannya ditahan dua orang bertubuh kekar.

"Kau harus memberikan Zein padaku kalau tidak, aku yang akan merebutnya darimu!" Suaranya terdengar penuh ancaman.

Ray tersenyum tipis, "Setelah aku menikahinya, suatu saat aku akan memberikan Zein padamu...hanya saja kau harus memenuhi syarat yang kuajukan."

"Apa?"

"Langkahi dulu mayatku!" kata Ray dengan ekspresi setenang air danau.

Setelahnya aku menubruk Ray. Memeluknya dan tidak berniat melihat kelanjutan video itu.

"Aku ceroboh," kataku cepat.

Ray tertawa kecil dan membalas pelukanku, "dan aku menyukaimu termasuk kecerobohanmu."

Aku mencubit perutnya lalu menenggelamkan kepalaku di dadanya sedalam yang aku bisa. Aku seperti tidak punya nyali menatap wajah Ray. Bukan hanya itu, emm kurasa ada kehangatan yang baru kutemukan saat memeluknya seperti ini.

"Boleh aku minta satu hal padamu?"

Aku mengangguk tanpa mengangkat wajahku.

"Bantu aku menghadapi Chris setelah itu kita pulang ke Indonesia bersama."

"Baiklah."

Pagi itu aku maupun Ray tak jadi memasak sarapan, bahkan kami hanya sarapan roti selai. Setelah subuh kami berdiam di kamar. Hanya berpelukan dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku tak tahu jika berpelukan saja membuat kami lupa menyiapkan sarapan.

"Apa kau kuliah hari ini?" tanya Ray sambil menyantap rotinya.

"Ya,"

"Baiklah, kita berangkat bersama."

"No. Em, maksudku tidak perlu. Aku hanya sebentar ke kampus, bertemu Mr. Ronald dan kembali pulang jadi kupikir aku bisa naik kendaraan umum."

"Bagaimana kalau aku tidak mengizinkanmu?"

Aku diam.

"Aku hanya khawatir dia menemuimu lagi lalu membuatmu berpikir macam-macam dan yang paling aku tidak suka," ia menggantungkan ucapannya, "...kau akan menangis lagi."

Aku mengedikkan bahu, "terserah kau saja."

"Kenapa setelah kau menikah denganku, kau lebih sering menangis?" tanyanya.

Aku mengerucutkan bibir lalu melahap roti dengan cepat.

zzzzzz

bentar lagi end

Dark Heart  (SUDAH TERBIT E-BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang