~21~

1.1K 52 0
                                    

Aku sudah merasa lebih baik. Meskipun aku tak makan nasi atau roti sejak kemarin, namun Ray selalu memaksaku agar minum susu. Dia memang pemaksa yang handal.

Malam ini aku ikut makan malam dengan keluarga Ray. Makan malam kali ini terasa berbeda karena ada Om Darwis. Bisa dibilang, makan malam kali ini sekaligus penyambutan karena Om Darwis pulang.

"Makan yang banyak ya, Zein," Mama Risha membantuku mengambil makanan. Aku tersenyum kecil.

Kami berenam makan bersama dengan tenang. Salju yang mulai turun menambah keadaan lebih syahdu. Entah ini hanya perasaanku saja atau apa, aku merasa nyaman berada di tengah-tengah keluarga ini.

"Sayangnya Ellie tidak bersama kita. Aku merindukannya," kata Aliyha pelan.

Zara yang sedang asyik dengan ayamnya pun menyahut, "Aku menganggap Zein pengganti Ellie. Bahkan aku lebih menyukainya karena Ellie suka merebut ayamku."

Ellie -kakak perempuan Ray- sedang menempuh pendidikan di Jerman. Mama Risha menceritakannya padaku. Beliau merindukan anak perempuannya itu karena menurut beliau, Ellie lebih penurut dibanding adik-adiknya.

Aku jadi ingin bertemu dengannya.

"Sudah berapa lama kau tinggal di Inggris, Zein?" Kali ini Om Darwis bertanya padaku.

"2 Minggu, Om. Kuliahku baru dimulai seminggu yang lalu, aku datang ke Inggris lebih awal," sahutku.

Beliau mengangguk, "Setelah sekian tahun, kau bertemu Ray lagi," Om Darwis meletakkan sendoknya, "bagaimana perasaanmu?"

Aku tak tahu harus menjawab apa. Itu...pertanyaan macam apa?

"Emm...cukup senang, Om."

"Bohong, Pa. Dia membenciku. Sangat."

Semua orang menoleh kearah Ray, termasuk aku.

"Benar begitu, Zein?" Om Darwis bertanya padaku.

"Ah, padahal aku ingin mengumumkan tanggal pernikahan kalian sekarang. Saat aku tahu kau membenci anakku, aku tak tahu harus bagaimana," raut wajah Om Darwis tampak sedih.

Kami shock. Ya, bukan hanya aku saja yang shock mendengar 'kejutan' Om Darwis.

"Apa maksud Papa?" Ray bersuara, "aku menikahinya?" Ray tampak mengatur napasnya, "maaf Pa, kali ini aku tidak bisa menuruti kemauan papa."

Om Darwis meneguk air putihnya, "Kenapa? Ini perjanjian papa dengan papanya Zein sejak lama. Kau tak bisa menolak seenaknya saja, Ray." Om Darwis menyahut dengan tenang.

"Aku tak mau menyakiti siapapun Pa, termasuk orang yang membenciku," Ray berkata datar, "menikah dengan orang yang kita benci, bukankah itu suatu penyiksaan seumur hidup?"

Aku hanya bisa menunduk mendengar jawaban Ray. Selera makanku menguap begitu saja. Aku menyentuh dadaku. Sakit.

zzzzzz

Pembicaraan mengenai pernikahanku dengan Ray masih berlanjut. Aku pamit ke kamar lebih dulu. Mereka memaklumi karena aku baru saja sembuh.

Tapi bukan itu alasan sebenarnya. Aku hanya ingin menangis dengan leluasa. Menumpahkan apa yang menyesakkan dadaku.

Air mataku tak mau keluar. Sepertinya hanya perasaanku saja yang ingin menangis, tidak dengan anggota tubuhku.

Aku duduk memeluk lutut di balkon kamar. Tempat ini tempat ternyaman setelah ranjang. Aku merasa lega jika berada disini karena semilir anginnya yang lembut, seperti elusan tangan Mama di atas kepalaku.

Aku rindu Mama.

Aku teringat pesan Mama di tas ku yang beberapa hari yang lalu sudah kubaca. Isi surat itu penuh dengan pesan tersirat yang tidak aku pahami. Jadi, aku melupakannya begitu saja.

"Jangan tidur disini. Dingin, kau bisa sakit lagi," suara yang mengganggu tidurku.

Aku mengabaikannya.

Ia mengangkat wajahku. Kedua matanya melebar.

"Kau menangis?"

Aku menghapus sisa-sisa air mata di wajahku. Sepertinya air mataku mengalir tanpa kusadari.

Aku hanya diam menatap Ray yang tampak merasa bersalah.

"Bukan salahmu, kau tenang saja. Aku hanya rindu Mama,"

Ia menaikkan satu alisnya. Itu tampak keren menurutku, "Kau tidak bohong?"

"Tidak," aku mengalihkan pandanganku darinya.

"Kau tidak boleh berbohong pada calon suamimu ini ya, awas saja kalau berani."

Aku melotot.

zzzzzz

















Dark Heart  (SUDAH TERBIT E-BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang