~4~

1.8K 80 2
                                    

Edited

Luka dan memar bertebaran di tangan, kaki, dan sebagian wajahku. Aku merasa bodoh saat ini. Kenapa aku menantang Ray balap sepeda padahal aku sama sekali tidak lihai menaiki sepeda?
Tapi tetap saja, aku kesal dengan Ray yang meledekku secara langsung.

"Zeiiiiin!!" teriakan yang membuat telingaku bergetar.

Reina muncul dari balik pintu. Tangan kanannya mengacungkan sesuatu berbentuk tabung kecil.

"Apa?"

Ia duduk di tepi ranjang dengan wajah kusut.

"Lo mujur banget sih hari iniii..." suaranya melemah, "bisa dianterin anak Om Darwis." Lanjutnya.

"Mujur? Nggak liat badan gue memar-memar?" tanyaku sarkatis.

Reina seperti teringat sesuatu, "Oh iya, ini obat dari Ray." Ia menyerahkan tabung kecil itu.

Aku membuangnya sembarangan, "Gue yakin itu racun."

Reina terperangah, "Ray nggak mungkin ngasih racun, Zein."

"Kalau bukan racun, pasti pelet," jawabku sekenanya, "lo mending pergi."

Reina beranjak dari duduknya. Wajahnya semakin kusut dengan bibir mengerucut.

--- ---

Sinar mentari menelusup dari balik celah jendela. Kedua mataku seperti dipaksa untuk membuka. Sudah pagi.

Namun, badanku kaku untuk digerakkan. Tidak seperti kemarin, kali ini jauh lebih sakit jika aku nekat menggerakkannya.

"Zein, lo masuk nggak hari ini?" kepala Reina menyembul dari balik pintu.

"Izin aja, badan gue sakit semua." Kataku meringis. Sepertinya sebagian otot wajahku turut kaku.

"Oke, cepet sembuh ya." Balasnya lalu menutup pintu.

Ah, hari ini akan kulalui bersama kasur. Membosankan. Semua ini gara-gara....

"Non Zein makan dulu ya." Suara mbak Asti memecah lamunanku.

Aku meliriknya sekilas. Ada bubur ayam dan air putih. Huh!

"Nggak ada yang lain, Mbak?"

" Non Zein maunya apa?" tanyanya tulus.

"Mau Mama disini," jawabku, " tapi nggak mungkin ada kan, Mbak?" aku tersenyum hambar. Otot wajahku mulai berontak. Sakit.

"Mama disini, Sayang." Suara itu...

"Mama?" aku kaget bukan main.

Perempuan yang kutunggu 'kehadiran'nya sekian tahun yang lalu, kini ada didepanku. Mendekatiku dan duduk disampingku.

"Baru nyadar kalau punya anak, Ma?" tanyaku kasar.

Mama tampak menahan air matanya agar tak jatuh. Tapi sia-sia. Pipinya penuh cairan bening itu.

"Kamu kok gitu sih ngomongnya?" "maaf ya, Mama belum bisa jadi yang kamu mau," tangan Mama mengusap pipi, "mulai sekarang Mama berusaha jadi yang terbaik buat kamu sama Reina."

"Nggak usah repot-repot, Ma. Urus kerjaan aja, kita udah gede kok." Aku berbaring memunggungi Mama. Sungguh, aku malas mendengarkan alasan Mama yang melulu soal pekerjaan.

"Kamu makan dong, Zein.Biar cepet sembuhnya." Mama menghela napas, "siapa yang buat kamu kayak gini?Kamu berantem?" Nadanya penuh kekhawatiran. Mama khawatir? Nggak mungkin!

"Mama pergi aja, aku nggak nafsu makan kalau Mama disini." Sahutku acuh.

"Kamu nyuruh Mama kemana?" Suara Mama tampak frustasi.

"Terserah, urus aja kerjaan mama. Itu lebih penting daripada aku."

Mama beranjak dari duduknya. Meninggalkan kamarku dengan isak tangis yang tidak dapat disembunyikan. Katakan aku keterlaluan tapi jika kalian di posisiku, mungkin kalian akan melakukan hal yang sama.

--- ---

Entah berapa lama aku terlelap. Seingatku, aku tidur saat Mama dan Mbak Asti masih disini. Sekarang perutku melilit hebat. Aku belum makan sejak tadi malam.

Dengan susah payah, aku membalikkan badan untuk mengambil bubur di meja yang pasti sudah dingin.

Tapi, tak ada bubur atau apapun di meja. Yang ada sosok lelaki berseragam sekolah sedang membaca buku bersampul kuning. Kedua mataku melotot saat kutahu itu Ray.

"Ngapain lo?!" suaraku membahana. Otot wajahku berkontraksi. Sial!

Ray mendongak dari bacaannya.

"Hai, Nona Badung!" ia tersenyum miring.

Aku menatapnya marah, "Pergi dari sini! Pergi dari hidup gue juga kalau perlu!" usirku dengan suara melemah.

Ia beranjak dari duduknya dan pergi begitu saja tanpa komentar.

Aku mengelus perutku yang meronta sejak tadi. Aku harus segera menelpon Mbak Asti untuk membawakan bubur. Baiklah aku harus berdamai dengan bubur sekarang.

Saat tanganku mengambil HP di meja, pintu kamar dibuka dari luar dan Ray membawa sebuah nampan lalu meletakkannya di meja.

"Makan buburnya, setelah itu lo boleh tidur lagi."

Aku menggeleng kuat, "Gue nggak mau bubur yang lo bawa. Pasti ada unsur yang bikin celaka." Balasku tajam.

Keningnya berkerut samar, "Cuma ada sedikit pelet kok, Zein." Ia terbahak keras.

Ia menyerahkan mangkok bubur. Ah, kalau bukan karena perutku yang sakit, aku tak akan mau menyuapkan bubur itu ke mulutku.

"Sakit," kataku meringis, "udah aja." kataku pada akhirnya.

Ray tampak tak setuju, "Minum susu aja. Udah nggak panas kok, pakai sedotan aja ya?" tawarnya.

Aku pasrah mengiyakan.

"Lo nggak pakai obat yang gue titip ke Reina?"

"Nggak, gue nggak mau pakai." sahutku.

Tangan Ray memegang tabung kecil mirip yang dibawa Reina kemarin.

"Sini, gue olesin." ia menawarkan.

"Nggak usah repot-repot." Aku membuang muka sambil terus menyesap susu di gelas.

Ray tampak tak peduli. Ia merebut gelas susu dan menarik tanganku. Jemarinya mengolesi tanganku dengan obat itu. Selanjutnya, ia mengoleskannya di pipi kananku. Oh God, aku merinding saat ini!

"Gue nemu obat ini di kolong meja, segitu marahnya sama gue?" tanyanya saat ia mengolesi kakiku dengan obat itu.

"Karena apapun yang asalnya dari lo, itu racun buat gue." kataku tajam, "coba kalau gue bisa gerak, nggak akan gue mau pakai obat sial lo itu!"

Ray tersenyum tipis, " Ini bukan racun. Cuma sedikit pelet." Ia tertawa penuh kemenangan.

--- ---

Dark Heart  (SUDAH TERBIT E-BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang