~14~

1.1K 56 0
                                    

Setelah puas menangis, aku terus menyemangati diriku. Aku tidak boleh terlalu sedih karena kecewa. Aku kuat dan aku bisa melupakan kejadian hari ini dengan cepat.

"Zein, tolong liat Reina di kamar ya? Dari tadi pulang sekolah nggak mau keluar kamar. Mama udah bujuk juga," suara mama menyadarkanku. Aku masih duduk dengan kepala menunduk.

"Iya, Ma" aku menyahut cepat karena tak ingin mama berlama-lama disini.

"Ray tadi kesini cuma buat bikin kamu sedih, Nak?" mama masih belum beranjak, bahkan rambutku dielusnya pelan.

Aku menggeleng lemah, masih menunduk.

"Kalau nggak, kenapa kamu bisa nangis? Setahu mama, Zein itu anak kuat yang jarang nangis," aku tahu, Ma.

Mama berlutut tepat didepanku dan sialnya, mataku masih saja mengeluarkan air. Oke, aku berbohong tentang puas menangis tadi.

Mama tersenyum, "Kamu mulai nyaman dengan seseorang, Nak?" aku mengernyit heran dengan pertanyaan mama. Pertanyaan jenis apa ini? "...tapi tiba-tiba kamu kecewa?" lanjut mama lagi. Skak mat! Bagaimana mama bisa tahu?!

"Aku mau ke kamar Reina, takut dia kenapa-napa," ucapku cepat lalu beranjak pergi.

Sebenarnya hanya alasanku saja karena aku tidak benar-benar membujuk kembaranku itu agar keluar kamar. Bukannya aku tidak khawatir setelah melihatnya menangis sepulang sekolah tadi, hanya saja aku sendiri dalam keadaan tidak baik.

zzzzzz

Suasana hatiku cukup kacau. Tidak, tapi sangat kacau. Aku sudah melupakan kejadian semalam. Oke, kalian pasti tahu aku belum melupakannya. Itu hanya harapan kecilku, tentu saja. Lagi pula, siapa yang bisa melupakan pengalaman dikecewakan sesingkat itu?

"Ada yang mau ketemu kamu, ditunggu di depan lab sekarang", seorang siswi yang tidak kukenal tiba-tiba memberiku pesan misterius. Pasti dia, pikirku. Sebenarnya otakku melarang keras agar aku mengabaikan pesan tersebut, namun tidak dengan kakiku. Sialan!

Laboratorium berada di pojok lantai dasar. Didepan laboratorium memang tempat yang cukup aman untuk menghindari keramaian. Langkahku semakin lebar, mungkin rasa penasaranku mengalahkan egoku.

Ah, benar saja. Ia membelakangiku dengan ransel di sebelah tangannya. Rasanya aku ingin mati saja saat ini. Bukankah dia kemarin bilang, akan menghilang dari pandanganku? Siapa yang salah, dia yang berjanji atau aku yang terlalu penasaran?

"Kenapa?" tanyaku dengan nada kesal.

Ia tak bergeming, tetap membelakangiku. Aku semakin penasaran dibuatnya hingga tangan kanannya menyodorkan selembar kertas yang terlipat rapi.

"Apa?" aku belum menerima kertas itu. Ia tetap diam dan tidak berbalik ataupun sekedar menoleh

Akhirnya aku menerima kertas itu. Mengamatinya lama hingga Ray begitu saja pergi tanpa menoleh atau berkata apapun padaku.

Aku segera membukanya dan terbelalak.

NGLUPAIN ORANG BRENGSEK KAYAK GUE INI PASTI GAMPANG BUAT LO.

Entahlah, aku shock keberapa kalinya saat ini.

zzzzzz


Dark Heart  (SUDAH TERBIT E-BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang