Siang itu hujan deras. Sekolah baru saja berakhir, namun anak-anak kelasku enggan pulang. Mereka gaduh membentuk beberapa kelompok 'diskusi' dan... kalian tahulah apa yang mereka lakukan. Kembaranku, Reina, tak mau kalah. Ia bergabung dengan gerombolan Cindy. Entahlah, sampai sekarang aku tidak paham jalan pikiran Reina. Ngobrol dengan biang gosip? Yang benar saja.
Aku duduk di bangku pojok di dekat jendela. Sesekali, rintik hujan mengenai wajahku yang menempel di kusen jendela. Aku menikmatinya. Damai dan seperti tidak ada yang perlu kupikirkan.
"Zeina..." seseorang memanggilku lirih. Aku menoleh dan mendapati Tasya berdiri tak jauh dari tempatku duduk.
"Hai, kenapa ke kelas gue?" tanyaku dengan seulas senyum. Senyum tulus, kurasa.
Tasya duduk di sebelahku. Bibirnya yang kecil tersenyum cerah. Ia menatapku beberapa saat lalu mendesah pelan, "Kita dalam keadaan nggak bisa nolong kamu waktu itu, Zein. Maaf," katanya pelan. Sorot matanya penuh penyesalan.
Aku mengangguk, "Gue udah denger dari Fadli kok dan...gue nggak papa," sahutku meyakinkan.
Sejak kapan 'kacau' bersinonim dengan 'nggak papa', Zein? suara di sudut hatiku berontak.
Tasya tersenyum lagi, "Gimana caranya kamu lolos dari mereka?"
Aku berpikir sejenak,"Ada seseorang yang nolongin gue"
zzzzzz
Perkataan Ray yang menyuruhku untuk menjauhi Fadli menimbulkan kecurigaan. Tapi aku lebih percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Zein," aku tergagap. Huh, aku melamun lagi.
"Apa?" sahutku acuh pada sosok didepanku ini.
"Ada masalah? Lo nglamun dari tadi"
"Masalah buat lo?"
Ia menghembuskan napas, "Ngalah aja deh gue"
"Pergi dari sini" kataku cuek. Ia terkejut, "Belum juga ngomong, Zein" gerutunya kesal.
"Oh"
Ia tampak mencoba tak peduli, "Maafin gue ya"
Alisku terangkat, heran. "Kesambet apaan lo? Maaf buat apa coba, nggak penting banget"
Ia membuang pandangan keluar, tampaknya berpikir, "Buat semuanya, kejadian tadi pagi juga. Maaf kalau gue nglarang lo deket-deket Fadli"
"Oke" sahutku tanpa beban.
"Hati-hati, Zein" kemudian ia berlalu tanpa menoleh lagi.
Dasar aneh, umpatku dalam hati.
Kurasa Ray tidak mengenal Fadli. Maksudku, tidak benar-benar mengenalnya. Lalu, kenapa ia memintaku menjauhi Fadli seenak jidatnya? Oke, dia baru saja minta maaf, tapi itu tidak cukup menghapus penasaranku.
"Zein, ayo pulang" kali ini Reina bersuara.
zzzzzz
Saat ini aku sedang bergelut dengan tugas sekolah. Yah, meskipun aku tak begitu pandai, setidaknya aku menyukai Bahasa Inggris dan Biologi. Hanya itu, tak lebih. Tapi sepertinya malam ini pengecualian. Tugas Biologi bu Ratna membuatku mual.
"Zeiiiiiinnn, gue ada kabar bahagia," teriakan Reina semakin menambah mual. Aku menatapnya malas tanpa berniat mengucapkan apapun.
"Anak om Darwis yang ganteng itu ngajakin nonton!!!!" kali ini ia berseru senang. Aku melengos lalu menelungkupkan wajahku ke bantal.
"Nggak penting!" kataku tertahan.
Reina menarik ujung rambutku agar aku mendengarkannya. "Ini penting buat gue, Zeeinn."
Aku melengos lalu meninggalkan Reina.
"Sebenernya dia ngajak lo,tapi dia nggak yakin lo nya mau," suara Reina menginterupsiku, "akhirnya dia ngajak gue. Yah meskipun kesannya pelampiasan, asalkan itu Rey...ahh aku mah gapapa." kata Reina mendadak senang.
"Sebahagia lo deh," sahutku lalu aku benar-benar beranjak pergi.
zzzzzz
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Heart (SUDAH TERBIT E-BOOK)
General FictionKau tahu bagaimana rasanya jika 'musuh'mu menghilang tiba-tiba? Senang? Mungkin iya, pada awalnya.Tapi tidak, untuk selanjutnya. Enjoy! :D *** Sebagian part telah dihapus karena proses penerbitan. Sudah terbit dalam bentuk e-book. Bisa kamu unduh me...