~5~

1.6K 69 1
                                    

Edited

Sebenci apapun kau untuk pergi sekolah, aku yakin kau lebih memilih pergi kesana daripada meringkuk tak berdaya diatas kasur. Begitu pula denganku.

"Lo masuk sekolah?" Suara Reina tampak tak percaya melihatku sudah berseragam rapi.

"Menurut lo?" sahutku malas. Aku duduk di sebelah Mama. Mama? Pemandangan tak biasa ini terulang lagi. Aneh.

"Kalau belum sembuh, jangan dipaksain, Zein." Kata Mama dengan tersenyum. Aku tersenyum miring menanggapinya.

Sebenarnya aku ingin bertanya kenapa Mama belum berangkat kerja. Tapi aku sedang malas untuk sekedar bertanya. Nasi goreng mbak Asti lebih menarik minatku daripada celotehan Mama yang sok peduli.

--- ---

Sekolah tak banyak berubah. Hei, memangnya seberapa lama aku tak masuk sekolah? Hanya saja, baru kali ini aku melihat gerombolan siswi yang asyik duduk di bangku bagian depan. Ngrumpi.

"Dia bakal jadi saingan Ray, OMG!" Suara Cindy yang pertama kudengar.

Aku melewati bangku gosip itu, "Ngomongin yang berbobot dikit gak bisa?" timpalku sengit.

Cindy melirik sinis. Ia memang salah satu orang di kelas ini yang menampakkan ketidaksukaannya padaku. Who cares?

"Baru sembuh aja udah belagu lo!" semburnya.

"Kayaknya lo emang jago di bidang 'ketidaknyambungan'. Gue usul apa, lo jawab apa." Sahutku sambil mengeluarkan buku.

Cindy bangkit dari duduknya. Ia mendekatiku lalu merebut buku yang kubaca dan membuangnya sembarang.

" Lo itu anak baru tapi songongnya overload! Kalau gak suka ya diem aja, gak usah nyerocos!" Ia setengah berteriak.

Aku diam, tak menggubris.

Ia tampak lebih kesal, "Lo denger gak sih gue ngomong apa?! Jawab kek, apa kek." Lanjutnya.

"Kata lo kalau gak suka mending diem aja." Sahutku kalem.

Muka Cindy memerah karena marah. Tiba-tiba ia melayangkan tamparan ke pipiku. Aku masih diam meskipun aku sedikit tak terima dengan kelakuan ababilnya.

"Gak usah main kasar, bisa?" Suara seorang... Ray? Sejak kapan ia masuk kelasku?

Cindy tampak terkejut melihat kedatangan Ray. Mukanya yang full make up itu tak dapat menyembunyikan raut malunya.

"Ha..haii, Ray. Kita cuma latihan drama kok. Kamu udah lama datengnya?"

Ray mendengus kesal. "Udah. Kira-kira dari waktu lo nampar Zein dan gue gak yakin itu drama," jawab Ray yang membuat Cindy pergi begitu saja.

Ray menarik kursi didepanku. "Lo gak papa? Yang kemarin udah sembuh?"

Aku menatapnya heran. "Makasih udah sok perhatian tapi asal lo tau..." kataku menggantung.

"Apa?"

"Gue lebih milih ditampar Cindy berkali-kali daripada dapet perhatian fake dari lo!" kataku lalu beranjak keluar kelas.

Sebut aku kejam tapi itu hanya berlaku untuk Ray.

--- ---

Setelah drama di kelas selesai , aku di kantin, guys. Menyeruput teh botol ternyata lebih damai dari suasana kelas. Biarlah aku bolos sehari lagi karena kejadian tadi benar-benar merusak moodku. Thanks, God.

Kantin sekolah inilah satu-satunya tempat ternyaman di sekolah ini. Yah, setidaknya begitulah menurutku. Tepat disamping tempat aku duduk, ada mushola yang cukup tenang sepertinya.

Seorang siswa sedang sholat disana. Wait! Sholat macam apa yang dilakukan pukul 9 pagi seperti ini? Ah entahlah, aku lama tak sholat. Mungkin ada perubahan atau perkembangan waktu sholat. Aku tak tahu.

"Hai." siswa yang tadi kulihat sedang sholat, sekarang berdiri didepanku.

"Apa?"

"Kamu nglietin aku dari tadi, jadi aku putuskan nanya langsung ke kamu. Ada apa?" tanyanya sopan.

Apa aku sebegitunya?

"Nope. Lo aja yang GR!" sahutku malas. Aku beranjak meninggalkannya.

"Aku Fadli, kamu?" suaranya menghentikan langkahku.

"Zein," jawabku lalu aku benar-benar pergi saat itu juga.

Sampai didepan kelas, aku merutuki kebodohanku yang dengan mudahnya memberitahu namaku kepada orang asing. Bagaimana kalau ia penculik? Bukankah ia di mushola sendirian saat jam pelajaran? Tapi ia berseragam sekolah dan, apa ada penculik yang sholat dengan khidmat seperti tadi?

Kacau sudah pikiranku.

--- ---








Dark Heart  (SUDAH TERBIT E-BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang