~25~

1.2K 50 0
                                    

Aku menyetir dengan kekuatan penuh. Sesekali tanganku mengusap air mata yang terus mengalir. Sebenarnya baru kali ini aku mengemudi sejak aku tinggal di Inggris, ada sedikit kekhawatiran kalau-kalau terjadi hal buruk.

Oh, buang pikiranmu itu, Zein!

Ya, yang kupikirkan sekarang hanya Ray. Ray yang saat ini tergolek lemah di jok sampingku. Ray yang sudah menjadi suamiku selama 4 bulan terakhir. Ray yang angkuh, diam, tetapi aku tak bisa menjauh darinya.

Sampai di rumah, aku segera memanggil security rumah untuk membantuku membawa Ray. Masih dengan berlinang air mata, aku berjalan di belakang mereka.

"Terimakasih,"

Sepeninggal 2 security yang membawa Ray ke kamar, aku bergegas ke dapur. Mengambil apapun yang kurasa dibutuhkan saat Ray siuman nanti.

Oh Zein, kenapa kau tak menghubungi dokter?

Aku memukul kepalaku. Panik membuatku bingung.

Aku duduk di sisi ranjang Ray dengan tangan kanan memegang ponsel dan tangan kiri menggenggam erat tangan Ray.

"Halo, dokter...."

"Aku baik-baik saja," Ray memotong pembicaraanku dengan merebut ponsel. Ray?!

"Tidak! Kau baru saja pingsan dan menyebut dirimu baik-baik saja?!" aku berusaha keras tidak berteriak.

Ray menatapku. Tatapannya lemah. "Aku mohon, percayalah. " Aku menggeleng keras. Air mataku semakin berdesakan keluar.

"Kau hanya perlu tidur di sampingku, itu saja,"

Tanpa berpikir panjang, aku segera berbaring di samping Ray. Mengusap kasar air mataku yang -sialnya- tidak mau berhenti. Kukira baru kali ini aku menangis hebat. Dan ya, itu karena Ray.

Ray yang semula berbaring, kini menghadapku. Sejurus kemudian tangan kirinya membawaku agar lebih mendekat. Apa dia tidak tahu, jantungku seperti berlarian keliling lapangan bola?

"Maaf membuatmu khawatir," Ray mengusap rambutku kemudian mengecupnya singkat.

Aku hanya mengangguk di bawah pelukannya. Aku semakin menenggelamkan kepalaku dalam dadanya. Apalagi yang bisa kulakukan saat orang yang selama ini tak peduli dengan keberadaanku lalu berubah lembut seolah aku tak boleh menjauh darinya.

Detik berikutnya, aku mengangkat kepalaku, "Kenapa Chris begitu ambisius mencelakaimu?"

Ray mendengus pelan. Ia menarik kepalaku agar kembali seperti sebelumnya, "Saat ini aku hanya ingin tidur dan memeluk guling besar."

Aku meronta agar lepas dari pelukannya tapi sia-sia. "Sepertinya kau lebih nyaman menganggapku guling besar daripada seorang istri," kataku mencibir.

"Good idea!"

Sialan!

zzzzzz

Paginya, aku menghabiskan waktu untuk bergelung di bawah selimut. Salju turun dan hari ini weekend. Pasangan yang cocok.

Aku baru membuka mata dengan benar saat jarum jam menunjuk angka 9. Tidak ada Ray disampingku, hanya saja posisi selimut menggembung. Sepertinya tumpukan bantal. Aku membuka kasar selimut untuk menyingkirkan bantal...

Kenapa jadi Ray yang tidur dengan posisi melengkung? Oh, kurasa baru kali ini mataku terbuka dengan benar dan yang tadi itu...lupakan saja.

"Hei, kenapa kau tidur dengan posisi seperti itu?" Aku mengguncang bahu Ray. Ia tak bergerak. Apa dia membeku?

Hilangkan pikiran konyolmu, Zein!

"Ray, ini sudah pukul 9. Aku ingin makan diluar weekend ini, ayolah"

Dark Heart  (SUDAH TERBIT E-BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang