Meskipun aku baru saja menikah, tak ada libur atau cuti kuliah.
Aku kuliah hari ini, begitu pula dengan Ray. Kami tidak berangkat bersama. Ray naik mobil dan aku tetap dengan kereta. Mama Risha memaksa aku agar ikut mobil Ray. Tapi kupikir, itu akan merepotkannya. Kampus kami berbeda dan berlawanan arah.
"Ray, kau membiarkan istrimu berangkat dengan kereta?!" Kali ini Papa Darwis bersuara.
Ray mengedikkan bahunya, "Memangnya kenapa, Pa?" "Dia sudah besar, bisa menjaga diri."
Aku menoleh ke arah Ray. Ia melanjutkan sarapannya dengan santai.
"Sekarang dia istrimu, kau harus menjaganya baik-baik. Kau harus melindunginya...."
"Aku tahu," sahut Ray cepat lalu meninggalkan kami begitu saja.
Papa Darwis menghela napas. Mama Risha mengusap bahuku lembut, seakan menyalurkan energi padaku.
"Aku tidak apa-apa naik kereta. Lagipula, kampus kami berbeda arah. Itu akan menyusahkan Ray jika kami berangkat bersama," aku mencoba menenangkan mereka.
zzzzzz
Kelas berakhir pukul 4 sore. Jadwal hari ini padat, tak heran pulang sesore ini.
"Zein, pulanglah bersamaku. Kau tahu, setiap hari aku lewat asrama Indonesia," Jessie, salah satu temanku, menawariku tumpangan.
Aku menggeleng, "Aku biasa naik kereta. Kau duluan saja."
"Baiklah," balasnya lalu segera pergi.
Aku bergegas pulang. Khawatir kereta penuh jika aku pulang larut.
"Hei Zeina, kita ketemu lagi disini."
Seorang lelaki yang tiba-tiba ada didepanku dengan wajah menunduk. Ia berbicara dengan bahasa Indonesia. Aku mengernyit bingung.
"Siapa?"
Lelaki itu mengangkat wajahnya dan tersenyum miring. Aku melotot, tak menyangka bertemu dengannya lagi.
"Fadli?" Aku mulai...takut. Bayangan buruk beberapa tahun silam menyergapku.
"Aku tak menggunakan nama bodoh itu lagi," katanya dengan senyum licik,"aku... Christopher." Ia berbicara dengan bahasa Inggris kali ini.
Aku mundur ke belakang. Nihil. Belakangku dinding tinggi yang tak memungkinkan aku mundur lagi.
"Apa maumu?!" Aku mencoba tidak takut.
Fadli -Christoper, maksudku- mendekat dan semakin dekat. Kami berada di jalanan sepi tanpa seorangpun yang lewat.
"Kau akan memberitahu anak bodoh itu kalau aku penjahat?! Hahaha sebelum kau melakukan itu, kau akan pergi dari sini, Nona."
Aku berusaha menatapnya, "Aku tidak memberitahu siapapun. Maksudku, belum."
Tangan Chris mengurungku. Aku tak bisa maju atau mundur untuk melepaskan diri. Aku takut, itu yang sejak tadi ada di pikiranku.
"Kali ini aku hanya sedikit memberi gertakan. Kalau kau berani melakukan itu, siap-siap saja suami bodohmu itu jadi korban," katanya pelan namun penuh ancaman.
"Jangan coba ganggu Ray! Ia tak tahu apapun!" Entah dari mana, aku bisa berteriak didepan wajah Chris.
Chris tersenyum miring, "Kau masih membelanya? Bukannya, dia tidak cinta padamu?"
"Dia mencintaiku. Asal kau tahu saja, akulah perempuan satu-satunya di hati Ray!" teriakku kencang.
"Ooww..calm down, baby." "Emm kurasa ia terlalu mencintaimu sampai tega meninggalkanmu di Indonesia yang penuh dengan ancaman." Aku tak mengerti arah pembicaraannya.
Duuaagg.
Chris terduduk saat tiba-tiba Ray menendangnya dari belakang. Posisi Chris yang membelakangi Ray menguntungkannya, karena sejurus kemudian ia menutup wajahnya dengan masker dan melesat begitu saja.
Ray mendekatiku yang masih shock. Ia menepuk bahuku pelan lalu menuntunku ke pelukannya.
"Kau baik-baik saja, tenanglah," katanya lembut. Sepertinya, aku baru mendengar Ray berbicara dengan intonasi seperti ini.
Aku menenggelamkan wajahku di dadanya yang nyaman. Aku tidak bisa menangis saat ini. Aku shock hingga tak tahu bagaimana meluapkan emosi.
Ray menuntunku ke dalam mobil. Memasangkan sabuk pengaman lalu mengacak rambutku pelan. Ia segera naik di kursi kemudi.
"Bagaimana bisa kau disini?" tanyaku mencoba tenang.
"Mama khawatir padamu, tidak biasanya kau pulang terlambat," jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.
"Kau baik-baik saja,kan?" tanyanya pelan. Ada kecemasan disana.
"Jangan pergi lagi,"kataku dengan wajah menunduk,"meskipun kau membenciku sekalipun," kali ini aku mengucapkannya dengan suara pelan. Berharap Ray tidak mendengar ocehanku barusan.
Ray diam. Kurasa ia tidak mendengar ku.
zzzzzz
"Mulai sekarang aku akan menjemputmu dari kampus," kata Ray sambil mengeringkan rambut. Aku yang sedang membaca buku, menatapnya heran lalu tersenyum lebar.
"Kau pasti mengkhawatirkanku," aku menyahut.
Ia duduk di tepi ranjang yang bersisian dari tempatku sekarang. Meraih ponsel di nakas, mengeceknya sebentar, dan meletakkannya lagi. Ia mengangkat kakinya ke ranjang dan bersiap tidur. Seperti biasa, membelakangiku.
"Mama yang khawatir. Sudah dua kali kau kenapa-napa saat pulang sore," jawabnya datar yang berhasil mengecewakan harapanku. Kukira ia mulai peduli denganku, nyatanya apa?
Aku segera meletakkan buku yang tadi kubaca. Mematikan lampu dan menarik selimut. Aku hanya mencoba meredam kekesalanku. Kupikir, aku harus tidur sekarang dan melupakan kenyataan bahwa Ray yang dulu benar-benar pergi. Ray yang dulu tidak pernah sedatar Ray yang kini menjadi suamiku.
zzzzzz
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Heart (SUDAH TERBIT E-BOOK)
General FictionKau tahu bagaimana rasanya jika 'musuh'mu menghilang tiba-tiba? Senang? Mungkin iya, pada awalnya.Tapi tidak, untuk selanjutnya. Enjoy! :D *** Sebagian part telah dihapus karena proses penerbitan. Sudah terbit dalam bentuk e-book. Bisa kamu unduh me...