Aku berhasil menemukan tas dan koperku. Keduanya dibawa Ila -temanku dari Indonesia- dan ia membawanya ke asrama. Mereka menungguku saat di bandara hingga kehilangan jejak dimana aku. Kurasa, aku yang ceroboh begitu saja pergi meninggalkan bandara tanpa mencari rombongan.
Namun, aku tetap tinggal di rumah Ray. Mama Risha menolak keras saat aku mengatakan akan pindah ke asrama.
Aku pulang pergi ke kampus dengan sepeda. Jika cuaca ekstrem, aku naik kereta. Seperti hari ini, musim dingin tiba. Aku pulang dengan kereta dan akan dijemput Ray di stasiun.
Sudah beberapa kali aku menghubungi nomor ponselnya, namun tidak dijawab. Akhirnya aku mengirimi pesan singkat, siapa tahu ia sedang di jalan.
2 jam kemudian...
Kakiku seperti membeku. Ray belum tampak dan udara dingin tidak bersahabat denganku. Aku ingin cepat pulang.
Sebenarnya jarak rumah Ray dan stasiun hanya 1 kilometer. Hanya saja, Mama Risha melarangku berjalan kaki.
Aku tidak kuat lagi.
Aku memutuskan pulang, tidak menunggu Ray lagi. Ini benar-benar kelewatan. 2 jam berhargaku terbuang untuk menunggu orang itu, huh!
Jalanan sepi, mungkin karena cuaca dingin yang membuat orang-orang malas keluar rumah. Salju mulai turun. Aku mengeratkan jaket dan syal untuk mengurangi dingin. Sepertinya sia-sia karena jaketku tidak terlalu tebal.
"Hai manis," aku tetap berjalan tanpa memedulikan apapun. Rumah Ray sekitar 100 meter lagi.
Aku diikuti seseorang.
Benar saja, bahu kiri ku ditarik paksa dan seorang pria dengan tutup wajah tampak berniat jahat. Aku memberontak. Aku tidak mau kejadian saat aku SMA terulang. Itu... mengerikan.
Pria itu menutup hidungku dengan kain dan...semuanya gelap.
zzzzzz
Ray POV
Pukul 4 pm
Aku baru bangun tidur. Sudah 2 minggu ini aku menjadi mahasiswa. Kurasa, kuliah lebih melelahkan daripada syuting.
Aku mengecek ponsel. Benar saja ada belasan panggilan dan satu pesan masuk. Semuanya dari Zein.
Panggilan terakhirnya sekitar 30 menit yang lalu. Ah, aku mengutuk diriku sendiri. Sudah pasti gadis itu nekat pulang sendiri. Bersiaplah kau dipasung Mama, Ray!
"Aliyha, apa Zein sudah pulang?" tanyaku pada Aliyha yang sedang minum jus di depan TV.
Ia menoleh dengan mata melebar, "Kau belum menjemputnya?"
Aku menggeleng.
"Kukira kau sudah menjemputnya karena kau tidur saat aku pulang," "cepat jemput, aku tahu Zein masih menunggumu"
Aku segera berlari menuju garasi lalu dengan panik menyetir secepat yang aku bisa.
Cciiiiiittttt
Sial, ada orang tergeletak di tengah jalan. Tidak ada seorangpun yang menolongnya. Huh, ini mengganggu!
Aku turun dari mobil dan mendekati orang itu. Jaket yang digunakan tipis, tentu saja ia kedinginan. Mungkin ini penyebab ia pingsan. Aku mengangkat wajahnya yang tertelungkup dan...
"Zein?" Aku...entahlah dunia seperti berhenti saat kutahu orang yang pingsan ini Zein.
Aku mendekapnya sekilas lalu menggendongnya. Tubuhnya tampak kecil dan rapuh.
Sampai di mobil, aku melepas jaketnya yang sudah penuh dengan salju dan memakaikan jaketku.
Malangnya gadisku.
Ah, aku mulai berkhayal. Zein membenciku dan aku tak bisa merubahnya.
zzzzzz
"Aliyhaaaa, tolong buka pintu kamar Zein!" teriakku begitu sampai rumah. Aliyha yang terkejut segera berlari ke kamar Zein.
"Ada apa kak?" tanyanya khawatir.
Aku hanya fokus pada Zein. Bibirnya membiru dengan buku-buku jari yang memutih. Sepertinya aku akan dipasung Mama nantinya. Ah, tapi bukan itu yang ku takutkan sekarang.
Aliyha membawa sebuah baskom berisi air hangat dan sebuah handuk. Pemanas ruangan sudah dinyalakan. Setidaknya itu membuat Zein lebih baik.
"Aku akan menelpon dokter," kataku lalu bergegas keluar.
"Kau tak lihat sekarang sedang hujan salju. Kurasa, dokter Rich akan kesini jika salju berhenti."
"Lalu, kita biarkan keadaaan Zein seperti ini? Kau akan bertanggung jawab jika sesuatu terjadi padanya?" aku tak bisa mengontrol emosi, mungkin karena panik.
Aliyha terus mengompres Zein dengan air hangat, "Aku sudah menelepon Mama dan Mama akan pulang membawa dokter Rich."
Aku lega.
"Kapan kau menelepon Mama? Kau berbohong, kan?"
Aliyha mendengus pelan, "Kau tak pernah peduli dengan sekitar jika sedang panik, Brother."
Ya, kali ini aku membenarkan ucapan adikku.
Aku keluar dari kamar Zein karena Aliyha mengusirku. Katanya, ia akan mengganti pakaian Zein agar ia tak kedinginan.
zzzzzz
"Apa yang terjadi dengan Zein?" Mama masuk ke kamar Zein dengan panik. Aku dan Aliyha menjelaskan singkat tentang keadaan Zein.
"Dimana dokter Rich, Ma?" tanyaku.
Mama mendengus pelan, "Dokter itu sakit. Huh, kenapa bisa seorang dokter sakit?" Mama menggerutu.
"Dokter juga manusia, Ma" sahut Aliyha.
"Lalu bagaimana dengan Zein?" Aku kembali panik.
"Kurasa ia sudah membaik. Tubuhnya tidak sedingin tadi. Besok kau bawa ke rumah sakit saja, ini sudah malam dan diluar masih hujan salju."
Aku bermaksud keluar kamar Zein.
"Ray," suara Zein. Aku berbalik.
Zein tampak gelisah. Matanya masih terpejam hanya saja tangannya bergerak-gerak seperti mencari sesuatu.
Aku mendekat. Aliyha dan Mama mengamati Zein, sama sepertiku. Aku mengelus tangannya pelan dan...tangan Zein mencengkram tanganku.
Ia berangsur tenang. Aku kembali panik karena takut sesuatu yang buruk terjadi pada Zein.
Kenapa dokter Rich harus sakit? Sial!
zzzzzz
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Heart (SUDAH TERBIT E-BOOK)
General FictionKau tahu bagaimana rasanya jika 'musuh'mu menghilang tiba-tiba? Senang? Mungkin iya, pada awalnya.Tapi tidak, untuk selanjutnya. Enjoy! :D *** Sebagian part telah dihapus karena proses penerbitan. Sudah terbit dalam bentuk e-book. Bisa kamu unduh me...