~20~

1.1K 52 0
                                    

Zein POV

Aku bangun saat matahari belum terbit. Badanku terasa remuk. Yang kuingat, aku dibius seseorang kemudian pingsan. Tadi malam aku sadar dan -jika aku benar- Ray tidur disampingku. Kemudian Om Darwis datang dan berkata tentang sesuatu yang tidak aku mengerti, menyuruhku tidur, dan aku menurutinya.

Namun sekarang, aku bangun dan Ray sudah tidak disini. Anehnya, tanganku seperti baru saja melepaskan sesuatu yang harusnya kugenggam. Oh, lupakan saja.

"Zeiiinn, kau sudah sadar? Bagaimana keadaanmu?" Zara -adik terkecil Ray- datang dengan suara lucunya.

Aku tersenyum kecil lalu memeluknya, "Aku tidak apa-apa, Sayang."

Zara memajukan bibirnya, "Kau tampak seperti vampir. Aku takut kau kenapa-napa," ia balas memelukku.

"Vampir? Hey, siapa yang mengajarimu?" aku hanya terkejut, tidak marah sama sekali.

Pintu kamar dibuka dan Ray masuk dengan nampan di tangannya. Ia tampak fokus dengan apa yang dibawanya. Wajahnya datar, ingin sekali aku mencakarnya agar sedikit berekspresi.

"Kau pucat seperti vampir. Jangan marahi Zara," kata Ray tanpa mengalihkan pandangan dari nampan. Ia mengambil mangkok diatas nampan lalu memberikannya padaku.

"Makanlah," katanya masih tanpa ekspresi lalu mengambil Zara dari pangkuanku. Ia bergegas meninggalkan kamarku.

"Aku tidak sedikitpun ingin marah pada Zara. Aku ingin marah padamu, kau tahu?!" kataku menahan emosi. Dia dengar atau tidak, aku tak peduli.

Aku meletakkan mangkok itu di nampan tanpa berniat makan isinya, yang ternyata bubur.

Aku kesal. Terlampau kesal sampai ingin pulang ke Indonesia untuk sekian kalinya.

zzzzzz

"Kau harus makan, hey!" seseorang mengguncang bahu kananku. Ini sungguh mengganggu.

"Aku tidak mau," sahutku lemah.

Suara 'pengganggu' tidurku menghilang. Baguslah, aku sedang tidak ingin diganggu.

Namun itu hanya berlangsung beberapa saat, karena selanjutnya tubuhku dipaksa bangun lalu didudukkan dengan bersender di kepala ranjang. Sial!

Ray duduk didepanku. Ya, ia duduk di ranjang yang sama denganku. Tangannya sudah siap dengan bubur yang akan masuk di...

"Buka mulutmu," katanya datar. Aku diam tanpa respon.

Ia tampak kesal lalu menghela napas pelan.

"Kau mau apa?" tanyanya pada akhirnya. Aku masih diam.

"Bagaimana bisa aku mengerti kalau kau tidak membuka mulutmu. Katakan sesuatu," ia tak menyerah.

"Aku masih marah padamu, tahu!" sahutku malas.

Ia tertawa. Oh, bahkan aku baru kali ini melihatnya tertawa setelah sekian lama aku tinggal di Inggris.

"Bahkan matamu ikut tertawa," kataku tanpa sadar.

"Apa?" katanya setelah menghentikan tawanya.

Aku menggeleng.

"Kau paksa seperti apapun, aku tetap tak mau makan."

Ia mendengus pelan lalu meletakkan mangkok di nakas.

"Kau tidak peduli pada dirimu sendiri, bahkan ada orang lain yang peduli pun kau tak peduli,"

Aku meliriknya sekilas. Apa maksudnya?

Ray mengambil segelas susu lalu menyerahkannya padaku, "minumlah,"

Aku mempertahankan diamku.

"Kalaupun tak ingin melakukannya untuk dirimu sendiri, lakukan untuk orang yang peduli padamu,"

Aku mengerjapkan mata, tak percaya apa yang baru saja kudengar. Aku masih diam, namun kali ini tanganku mengambil alih susu di tangan Ray dan meneguknya hingga habis.

zzzzzz





Dark Heart  (SUDAH TERBIT E-BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang