Bab 6: Langkah Kecil Menuju Kebebasan

274 11 0
                                    

Dini hari menyelimuti kota, menyisakan lampu jalan yang redup sebagai penerang. Dengan langkah pelan dan hati penuh keraguan, Arlo mengikuti Elias, pemuda asing yang telah menawarkan bantuan. Setiap langkah terasa berat, namun jauh lebih ringan dibandingkan rasa sakit yang selama ini ia rasakan di rumahnya.

---

"Kepercayaan yang Rapuh"

Elias membawa Arlo ke sebuah rumah kecil di pinggir kota. Rumah itu tidak mewah, bahkan terkesan sederhana, tetapi jauh lebih hangat dibandingkan mansion megah tempat Arlo tumbuh besar.

“Ini tempatku,” ujar Elias sambil membuka pintu. “Nggak besar, tapi cukup nyaman. Kamu aman di sini.”

Arlo hanya mengangguk pelan. Ia merasa gugup sekaligus waspada, tetapi tidak punya pilihan lain. Dalam hati kecilnya, ia ingin percaya bahwa Elias benar-benar tulus.

“Kalau kamu lapar, aku bisa buatkan sesuatu,” lanjut Elias sambil menunjuk dapurnya yang kecil namun bersih.

Arlo ragu sejenak, lalu menggeleng. “Nggak usah... Lio nggak lapal,” jawabnya dengan suara cadel yang hampir tidak terdengar.

Elias tersenyum tipis, menyadari cadelnya Arlo namun tidak menyinggungnya. Ia hanya menepuk bahu Arlo dengan lembut. “Baiklah. Kalau kamu butuh sesuatu, bilang aja, ya.”

---

"Malam Pertama yang Berat"

Saat malam tiba, Elias menyiapkan kamar kecil untuk Arlo. “Kamar ini nggak terlalu besar, tapi cukup nyaman. Kamu bisa tidur di sini.”

Arlo memandangi ruangan itu. Tempat tidur sederhana dengan seprai biru, sebuah meja kecil, dan jendela yang menghadap ke taman kecil di belakang rumah. Meskipun sederhana, kamar itu terasa seperti surga baginya.

Saat Elias meninggalkan ruangan, Arlo duduk di tepi tempat tidur. Ia memegang boneka ibunya erat-erat, mencoba menahan air mata yang mulai mengalir.

“Ma, Lio udah nggak di lumah lagi,” gumamnya lirih. “Tapi kenapa rasanya tetap sakit?”

Malam itu, Arlo tidak bisa tidur nyenyak. Meskipun sudah jauh dari keluarganya, bayangan Dante, Marco, dan Rico masih menghantui pikirannya. Ia memeluk bonekanya lebih erat, berharap rasa sakit itu perlahan hilang.

---

"Hari Baru, Kehidupan Baru"

Pagi harinya, Elias menyambut Arlo dengan sarapan sederhana di meja. “Aku nggak tahu kamu suka apa, jadi aku buat roti bakar dan susu. Semoga cukup.”

Arlo menatap piring itu dengan ragu. Sudah lama ia tidak merasakan perhatian seperti ini. Ia mengambil satu potong roti dan mulai memakannya perlahan Hmmm enak lotinya.

Elias pun tersenyum “Jadi, kamu mau cerita sedikit? Kenapa kamu sendirian di taman semalam?” tanya Elias sambil duduk di seberang meja.

Arlo terdiam. Ia tidak tahu harus mulai dari mana. Namun, melihat tatapan Elias yang tulus, ia merasa sedikit lebih nyaman.

“Lio... Lio nggak suka di lumah,” jawab Arlo pelan. “Meleka... nggak sayang sama Lio.”

Elias mengangguk, tidak memaksa Arlo untuk bercerita lebih banyak. “Aku ngerti. Kadang, keluarga nggak selalu seperti yang kita harapkan.”

Arlo menatap Elias dengan mata penuh rasa penasaran. “Kakak punya kelualga?” tanyanya dengan nada cadel.

Elias terdiam sejenak. “Aku punya. Tapi mereka juga nggak terlalu peduli sama aku. Jadi, aku hidup sendiri sekarang.”

Mendengar itu, Arlo merasa sedikit lega. Setidaknya, ia tidak sendirian dalam kesedihannya.

---

"Ikatan yang Terjalin"

Hari-hari berikutnya, Arlo mulai terbiasa dengan kehidupan barunya bersama Elias. Pemuda itu memperlakukannya dengan penuh perhatian, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Elias juga mengajari Arlo banyak hal, seperti cara memasak, membersihkan rumah, dan bahkan berkebun di taman kecil di belakang rumah. Arlo merasa sedikit lebih bahagia, meskipun bayangan keluarganya masih sering menghantui pikirannya.

Namun, di tengah kebahagiaan kecil itu, Arlo tahu bahwa kehidupannya tidak akan selamanya seperti ini. Ada bagian dari dirinya yang masih merindukan keluarganya, meskipun ia tahu mereka tidak pernah benar-benar peduli padanya.

“Arlo,” ujar Elias suatu malam saat mereka duduk di taman belakang. “Kalau suatu hari nanti keluarga Lio mencari Lio, apa Lio akan kembali?”

Arlo terdiam lama. Ia tidak tahu harus menjawab apa.

“Lio nggak tahu, Kak,” jawabnya akhirnya. “Lio cuma mau mereka sayang sama Lio. Tapi... kayaknya itu mustahil.”

Elias menepuk kepala Arlo dengan lembut. “Kamu berhak bahagia, Arlo. Jangan biarkan orang lain membuatmu merasa nggak berharga.”

Kata-kata itu terasa hangat di hati Arlo. Mungkin untuk pertama kalinya, ia merasa ada yang benar-benar peduli padanya.

---

"Rasa Aman yang Sementara"

Namun, meskipun Arlo mulai merasa nyaman di rumah Elias, ia tahu bahwa kehidupannya tidak akan selalu seperti ini. Dunia luar penuh dengan ancaman, dan ia tidak tahu apakah keluarganya akan mencarinya atau justru melupakan dirinya sepenuhnya.

Di sisi lain, keluarga Salvatici mulai merasakan kehilangan yang besar. Meskipun mereka tidak pernah mengungkapkannya, kepergian Arlo meninggalkan lubang besar dalam hati mereka.

Babak baru dalam hidup Arlo dimulai, tetapi perjalanan ini masih jauh dari kata selesai. Ia harus menemukan tempatnya di dunia ini, meskipun itu berarti harus menghadapi masa lalunya yang kelam.

---

"ARLO  SALVATICI" End Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang