Bab 38: Ketegangan di Garis Depan

16 1 0
                                    

Setelah beberapa hari penuh dengan persiapan, keluarga Salvatici akhirnya tiba di titik kritis. Keluarga Moretti semakin dekat, dan hari yang mereka khawatirkan kini telah tiba. Semua orang di mansion bersiap dengan tenang namun penuh kewaspadaan. Arlo merasa perasaan berat dan tegang di dadanya. Meski ada rasa takut yang mendera, ia juga merasa lebih kuat dari sebelumnya. Keluarga ini, yang dulu begitu terpecah, kini telah bersatu dan siap menghadapi ancaman besar yang datang.

Arlo menatap kosong ke luar jendela besar di ruang keluarga. Langit mendung menyelimuti mansion, menambah suasana yang serba tegang. Ia tahu apa yang akan datang, dan meskipun ada rasa cemas di dadanya, ia tidak akan mundur. Ini adalah ujian terbesarnya.

Luciano berdiri di depan pintu, mengenakan pakaian hitam yang sudah disiapkan untuk pertempuran. "Anakku," kata Luciano, suaranya dalam dan penuh kewibawaan. "Saatnya."

Arlo menoleh dan mengangguk. Ia tidak perlu penjelasan lebih lanjut; ini adalah momen yang sudah mereka persiapkan berbulan-bulan. Keluarga Salvatici harus menghadapi Moretti sekarang, dan Arlo tahu mereka tidak bisa mundur.

Dante, Marco, dan Rico sudah berkumpul di ruang utama. Masing-masing tampak tegang namun penuh tekad. Mereka tahu apa yang dipertaruhkan, dan Arlo merasa lebih baik dengan keberadaan mereka. Mereka sudah melewati begitu banyak bersama-sama.

Luciano, yang berdiri di depan meja besar, menatap setiap anggota keluarga yang hadir. "Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi," katanya. "Keluarga Moretti semakin dekat dengan kita, dan kita harus bergerak lebih cepat dari mereka."

Rico mengangguk. "Mereka sudah mulai berani menembus perbatasan kita. Mereka tahu kita sedang sibuk dengan konflik internal, dan itu memberi mereka kesempatan untuk menyerang."

Dante melirik ke arah Arlo, yang duduk di sisi meja, tangan terlipat di atas paha. "Arlo, kami tahu ini berat bagimu, tapi kamu harus siap. Keluarga Moretti akan mencoba untuk memanfaatkan setiap kelemahan yang mereka bisa. Kamu adalah titik fokus mereka. Itu berarti, kita harus lebih waspada."

Arlo menatap mereka dengan tatapan serius. "Lio tidak akan lali. Lio tahu apa yang halus Lio lakukan."

Marco tersenyum tipis, merasakan kedewasaan yang baru dalam diri adiknya. "Kamu bukan lagi bocah kecil yang merasa takut, Arlo. Kami akan bersama-sama menghadapinya."

Luciano, yang selama ini selalu tampak tegas dan terkendali, akhirnya berkata, "papa sudah membuat keputusan. Kali ini, kita tidak akan bertahan hanya untuk bertahan. Kita akan menyerang mereka lebih dulu. Tidak ada lagi yang bisa mengancam kita."

Semua yang hadir di dalam ruangan itu merasakan kekuatan dalam keputusan ayah mereka. Meskipun begitu, Arlo masih merasakan ketegangan di dadanya. Menyadari bahwa dalam hidupnya, segala sesuatu bisa berubah dalam sekejap.

Setelah pertemuan selesai, Arlo berjalan ke luar mansion. Ia menuju taman belakang, tempat yang sering ia kunjungi ketika ingin berpikir dengan jernih. Suasana sejuk pagi itu memberinya waktu untuk merenung.

Tiba-tiba, langkah seseorang terdengar di belakangnya. Arlo menoleh dan melihat Luciano berdiri di sana, dengan wajah penuh perhatian.

"Papa..." Arlo mulai berbicara, suaranya sedikit bergetar. "Apa yang akan teljadi jika kita kalah? Lio tidak tahu harus bagaimana lagi."

Luciano mendekat, menempatkan tangan di bahu Arlo, memberikan dukungan yang hangat. "Kita tidak akan kalah, Arlo. Keluarga ini akan bertahan, apapun yang terjadi. Kita tidak akan membiarkanmu pergi lagi."

Arlo merasakan sesuatu yang luar biasa dalam kata-kata ayahnya. Ada kekuatan dalam setiap kalimat yang diucapkan Luciano, dan untuk pertama kalinya, Arlo merasa benar-benar dihargai.

"Telima kasih, papa," Arlo berbisik, hampil tidak pelcaya bahwa ia bisa melasa seaman ini, bahkan di tengah ancaman yang besal.

Luciano membalas senyum Arlo dengan pelukan yang erat. "Selama papa masih hidup, kamu akan selalu aman, Arlo. Kamu bukan hanya anakku. Kamu adalah alasan aku bertahan hidup hingga saat ini."

Di tengah kegelapan yang terus mengancam, Arlo akhirnya merasakan kedamaian yang sesungguhnya. Keluarganya akan selalu ada di sisinya. Tidak peduli apapun yang akan terjadi, ia tahu kini bahwa ia memiliki kekuatan yang tak terukur: cinta dari keluarga yang tak akan pernah menyerah.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari kejauhan. Arlo menoleh dan melihat Bang Elias berjalan mendekat, ekspresinya serius namun penuh kepercayaan diri.

"Arlo," Bang Elias menyapa, suaranya tenang dan tegas. "Kami memutuskan untuk memanggil bantuan tambahan. Aku yakin kalian akan butuh dukungan di sini."

Arlo menatapnya, bingung. "Bang Elias? Aku tidak tahu kalian saling mengenal."

Bang Elias tersenyum tipis. "Kami pernah bertemu beberapa kali, Karena keluarga Abang dan keluarga mu itu rekan kerja sama dan Sekarang, Abang  di sini untuk membantu keluarga Salvatici." Bang Elias mengangguk ke arah Luciano. "Kami butuh semua orang untuk bertahan di sini."

Luciano menatap Elias dengan kilatan penghargaan di matanya. " Elias, terima kasih atas bantuanmu. Kami sangat membutuhkan ini sekarang."

Arlo merasa lega dengan kehadiran Bang Elias. Meskipun begitu, ia tetap waspada. Ini adalah perang, dan Arlo tahu bahwa segala sesuatunya bisa berubah dalam sekejap.

Luciano memberikan isyarat kepada semua orang untuk bersiap. "Ini adalah keputusan terakhir," katanya dengan suara berat. "Tidak ada yang bisa mundur sekarang."

Arlo menatap papanya dengan tekad yang kuat. "Lio siap, pah."

Dengan satu langkah tegas, keluarga Salvatici maju, siap untuk menghadapi keluarga Moretti dalam pertempuran yang akan menentukan masa depan mereka. Dan dengan Bang Elias di sisi mereka, mereka memiliki peluang untuk menang.

---

"ARLO  SALVATICI" End Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang