Pintu rumah kecil itu terbuka lebar, menampakkan sekelompok pria berseragam hitam yang terlatih dengan senjata di tangan mereka. Elias segera bergerak cepat, menarik Arlo ke sisi ruangan yang lebih aman. Arlo merasakan detak jantungnya yang semakin kencang. Begitu banyak pertanyaan melanda pikirannya, namun satu hal yang jelas: ini bukan hanya soal bisnis lagi, ini soal hidup dan mati.
Elias, dengan ketenangannya yang luar biasa, menyembunyikan Arlo di balik lemari besar di sudut ruangan. "Tetap diam, Lio. Jangan buat suara apapun," bisiknya dengan suara rendah, hampir tidak terdengar.
Arlo mengangguk, tubuhnya gemetar, tetapi ia tahu apa yang harus dilakukan. Sesekali ia bisa mendengar percakapan dari luar, namun tidak ada yang cukup jelas untuk dimengerti. Hanya suara langkah kaki yang berat dan napas yang terengah-engah.
Sementara itu, di luar rumah, pertempuran semakin memanas. Dante dan Rico sedang memimpin pasukan mereka, menghadapi serangan dari keluarga Moretti yang kini menguasai hampir seluruh wilayah utara. Marco, dengan pengalamannya, bergerak lebih cepat, memastikan pasukan mereka mendapatkan perlawanan yang sebanding.
Di tengah kekacauan itu, Luciano berhadapan langsung dengan Vittorio Moretti di lapangan terbuka. Kedua pria ini saling menatap tajam, seperti dua singa yang siap bertarung sampai mati.
"Jadi, ini akhirnya datang juga, Luciano," kata Vittorio, suaranya penuh kebencian. "Kau dan anakmu akan menjadi penyebab kehancuran keluarga ini. Aku akan menghancurkanmu, seperti yang kuinginkan selama bertahun-tahun."
Luciano hanya tersenyum miring. "Kau tidak akan bisa mengalahkan kami, Vittorio. Keluargaku lebih kuat dari sekedar darah dan balas dendam."
Tiba-tiba, terdengar suara tembakan
"Dor dor dor!!"
dari arah belakang. Salah satu
pengikut Vittorio terjatuh, darah
mengucur deras dari tubuhnya.
Marco dan Rico muncul dari balik pohon, menembakkan senapan mereka ke arah pasukan Moretti.
Luciano tidak membuang waktu, segera bergerak maju. "Sekarang kita serang balik!" teriaknya, memberi perintah.
"Di dalam rumah persembunyian"
Arlo mendengarkan suara tembakan yang semakin mendekat. Meskipun Elias sudah memastikan dia aman, Arlo merasa terjebak dalam ketakutan. Namun, ia tidak bisa hanya berdiam diri. Setiap inci tubuhnya berteriak untuk bergerak, untuk melawan.
Dengan tangan yang gemetar, Arlo meraih pistol yang ada di saku Elias. Pikirannya berputar, bertanya-tanya apakah ini keputusan yang benar. Namun, di saat seperti ini, ia tahu satu hal ini adalah waktunya untuk membuktikan dirinya.
Tepat saat ia hendak bergerak keluar dari tempat persembunyiannya, suara langkah kaki yang lebih berat terdengar mendekat. Arlo menyembunyikan senjatanya, bersembunyi di balik meja, mencoba menenangkan diri. Namun, ia tidak bisa menahan kecemasannya. Wajah ibunya, Elena, muncul dalam bayangannya, memanggilnya untuk tetap kuat. "Jangan biarkan mereka menang, Arlo," bisiknya dalam ingatan.
Tak lama, suara dari luar rumah semakin jelas, semakin banyak orang yang datang. Arlo bisa merasakan kehadiran mereka. Tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi.
Dengan keberanian yang tiba-tiba datang, Arlo bangkit dan bergerak cepat, melangkah keluar dari tempat persembunyiannya. Tapi sebelum ia sempat menyentuh pintu, ia mendengar suara Elias, yang memanggilnya dengan nada yang penuh rasa khawatir.
"Lio, kembali ke tempatmu sekarang!" teriak Elias.
Arlo tidak mendengarkan. la sudah terlalu lama bersembunyi, dan kini adalah waktunya untuk melangkah maju. "Lio tidak akan lali lagi, Bang."
Arlo membuka pintu perlahan, hanya untuk mendapati sekumpulan pria yang mengarah padanya dengan senjata terarah. Salah seorang dari mereka tersenyum kejam.
"Arlo Salvatici," katanya dengan suara dingin, "kau akhirnya keluar dari persembunyianmu. Sayang sekali, karena kau tidak akan bertahan lama."
Namun, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, sebuah tembakan terdengar, menembus salah satu pria yang berada di depan Arlo. Sosok yang familiar muncul dari balik pohon-Elias.
"Jangan pernah keluar sendirian lagi," kata Elias, sambil menatap Arlo dengan serius. "Aku tidak akan biarkan kau jatuh begitu saja."
Namun, situasi semakin gawat.
Pasukan Moretti tidak berhenti hanya dengan satu tembakan.
Mereka mulai bergerak lebih agresif, memasuki rumah itu dari semua sisi.
Di luar, pertempuran masih berlanjut.
Luciano memimpin pasukannya dalam serangan balasan yang brutal. Vittorio, yang berada di tengah kerumunan, berusaha melawan dengan cara yang lebih licik. la tahu bahwa kekuatan fisik bukan lagi satu-satunya senjata mereka. Semakin lama, ia merasa lebih dekat dengan tujuannya- menghancurkan keluarga Salvatici.
Dengan tembakan demi tembakan yang terus terdengar, Luciano berusaha untuk menjaga garis pertahanan mereka, tetapi rasa takut yang sudah lama terkubur dalam dirinya kini kembali muncul-takut kehilangan Arlo, takut kehilangan semua yang telah mereka bangun
"Puncak Ketegangan"
Arlo dan Elias bertahan dalam rumah, meskipun jumlah musuh semakin banyak. Arlo merasa detak jantungnya semakin cepat. Untuk pertama kalinya, ia merasakan apa yang selama ini dialami oleh ayah dan abang-abangnya-perasaan terjebak di tengah ancaman yang terus-menerus datang.
Namun, ia tahu satu hal: dalam perang ini, tidak ada yang bisa mundur. Arlo menggenggam erat senjatanya, siap untuk berjuang hingga titik darah penghabisan.
Ini adalah saat untuk membuktikan bahwa dia bukan hanya anak bungsu yang tidak diinginkan. Ini adalah saat Arlo Salvatici berdiri untuk keluarga yang selalu melindunginya-dan ia akan melindungi mereka kembali, apa pun yang terjadi.

KAMU SEDANG MEMBACA
"ARLO SALVATICI" End
AçãoArlo Salvatici, anak bungsu keluarga mafia ternama, lahir di tengah tragedi yang merenggut nyawa mamanya. Namun, kehadirannya justru dianggap sebagai kutukan. Dibenci oleh papa dan Abang-abangnya, Arlo tumbuh dalam cemoohan, tamparan, dan perlakuan...