Bab 15: Keteguhan yang Hancur

128 6 0
                                    

Langkah kaki Arlo terasa berat saat ia kembali ke keluarganya. Setiap langkah yang ia ambil seakan membawa beban yang semakin besar. Rasanya ia terjepit di antara dua dunia, dunia yang penuh dengan luka dan dunia yang ia coba bangun bersama Elias, namun harus ditinggalkan demi keselamatan orang yang ia cintai.

Ketika ia sampai di depan keluarganya, matanya tak bisa menatap langsung. Ia tahu, jika ia melakukannya, ia tak akan bisa menahan air mata yang sudah lama tertahan. Luciano berdiri di depan, wajahnya penuh dengan harapan dan penyesalan yang mendalam. Mata Luciano mencari-cari sosok Arlo, berharap anak bungsunya bisa kembali tanpa ada dendam yang tersisa.

"Lio..." Luciano memanggil dengan suara bergetar. "Kami semua sangat menyesal, Lio. Kami tidak tahu apa yang telah kami lakukan padamu. Kami ingin memperbaikinya."

Arlo menatap ayahnya dengan perasaan campur aduk. Ia ingin berbicara, ingin mengungkapkan semua rasa sakit yang selama ini ia pendam, namun suara itu tak kunjung keluar. Ia hanya bisa terdiam, berdiri di sana, memandang wajah ayahnya yang tampak lebih tua dan rapuh dari sebelumnya.

Dante, abang pertama Arlo, menatap Arlo dengan mata penuh rasa cemas dan penyesalan. "Lio, maafkan kami. Kami salah. Kami tidak seharusnya memperlakukanmu seperti itu."

Arlo merasa semakin sesak. Kata-kata itu terdengar begitu kosong, begitu terlambat. "Kalian pikir... kata-kata manis kalian ini bisa mengubah semuanya?" katanya dengan suara serak. "Kalian menghancurkan aku, tapi kalian ingin aku kembali hanya dengan kata-kata?"

"Lio..." Dante berkata, berusaha mendekat, namun Arlo langsung mundur. "Kami tidak akan membuat kesalahan itu lagi. Kami akan melindungimu."

Arlo memejamkan mata, menahan semua perasaan yang hampir meluap. Di saat yang sama, ia bisa merasakan kehadiran Elias yang terus mengingatkannya tentang rasa sayang yang tulus dan perlindungan tanpa syarat. Tapi keluarganya, meskipun penuh dengan penyesalan, tak bisa memulihkan semua luka yang sudah ada.

Tiba-tiba, tangan Arlo terasa dingin dan gemetar. Ia merasakan ada seseorang yang mendekat dengan langkah hati-hati. Itu adalah Marco, abang kedua Arlo, yang selalu keras dan tegas, namun kali ini ia tampak berbeda. Wajah Marco yang biasanya dingin kini terlihat penuh dengan kesedihan.

"Arlo..." Marco memanggil dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Aku... Aku tidak tahu bagaimana harus meminta maaf. Aku terlalu keras padamu. Aku sudah banyak menyakitimu."

Arlo hanya menatapnya, tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata itu begitu terlambat, meskipun ia bisa merasakan adanya keinginan dari saudara-saudaranya untuk memperbaiki hubungan ini.

"Lio, percayalah, kami akan melakukan apa pun untuk menebus semua ini," kata Marco, mendekat dengan hati-hati. "Kami akan memberi perhatian yang kamu butuhkan, kami akan... menyayangimu."

Arlo tidak bisa menahan diri lagi. Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya jatuh. Ia merasa sangat lelah. Lelah dengan kebencian, dengan penyiksaan, dengan semua perasaan yang tidak pernah bisa ia ungkapkan.

Namun, meskipun ia menangis, ia merasa ada kekuatan baru yang muncul dalam dirinya. Mungkin ia bisa memaafkan mereka suatu saat nanti, tapi tidak sekarang. Tidak dengan cara ini. Tidak dengan cara yang terlalu mudah.

"Dengan apa kalian ingin menebus semuanya? Dengan memberi perhatian? Setelah semuanya?" kata Arlo, suara itu bergetar. "Kalian sudah  terlambat."

Luciano mendekat, mencoba memegang tangan Arlo. "Kami akan berusaha, Lio. Kami akan memperbaiki semuanya."

Namun Arlo menarik tangannya, dengan tegas berkata, "Aku tidak bisa begitu saja menerima kalian." Ia menatap mereka dengan penuh rasa sakit. "Aku sudah terlalu lama menderita. Aku butuh waktu."

Luciano, yang selama ini diam, akhirnya berkata dengan lembut, "Kami akan menunggu. Kami akan memberikanmu waktu, Lio. Kami tidak akan menyerah."

Namun, ketika Arlo menatap mereka untuk terakhir kalinya, ia tahu ada banyak luka yang tak akan pernah bisa sembuh. Ia berharap ada cara untuk membuat keluarganya mengerti, bahwa kata-kata tidak bisa menghapus luka yang sudah dalam.

Elias benar. Ia harus tetap kuat, bahkan jika itu berarti harus berjalan sendirian. Meskipun hatinya terluka, Arlo tahu ia harus memilih jalannya sendiri.

Dengan langkah berat, Arlo berbalik dan melangkah pergi. Meninggalkan keluarganya yang kini menyesal, namun tetap terlambat.

---

"ARLO  SALVATICI" End Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang