Pagi itu, Lio berdiri di depan gerbang besar mansion keluarga Salvatici. Tangannya menggenggam erat jemari Elias, seolah mencari keberanian. Suasana di sekitar terasa hening, hanya suara angin yang menggerakkan daun-daun pohon di sepanjang jalan menuju rumah itu.
“Lio, kalau belum siap, kita bisa tunggu dulu,” kata Elias pelan, mencoba menenangkan bocah di sampingnya.
Lio menggeleng cepat, bibirnya sedikit bergetar. “Lio siap, Bang Elias. Lio mau ketemu Papa sama abang-abang.”
Elias tersenyum kecil, lalu mengetuk pintu gerbang besar itu. Seorang penjaga yang mengenalinya langsung membukakan pintu, memberikan akses masuk.
Di dalam mansion, suasana tidak kalah tegang. Dante, Marco, dan Rico duduk di ruang tamu dengan wajah penuh kecemasan. Di lantai atas, Papa Luciano berdiri di dekat jendela ruang kerjanya, memperhatikan kedatangan putra bungsunya yang sudah lama pergi.
“Dia benar-benar pulang,” gumam Marco, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.
Rico menghela napas panjang. “Tapi… Lio pasti masih ingat semuanya. Apa dia bisa memaafkan kita?”
“Yang penting sekarang, kita buat dia merasa diterima,” ujar Dante, suara tenangnya berusaha menyemangati kedua adiknya.
Saat Lio melangkah masuk, seluruh perhatian tertuju padanya. Bocah itu berdiri canggung di ambang pintu, matanya melirik satu per satu wajah yang menatapnya. Elias berdiri di belakang Lio, memberikan dukungan tanpa banyak bicara.
Dante yang pertama kali berdiri, mendekati Lio dengan hati-hati. Wajahnya yang biasanya tegas kini dipenuhi kehangatan. “Lio… Abang minta maaf,” katanya sambil berlutut untuk menyamai tinggi adiknya. “Abang nggak akan bikin Lio merasa sendiri lagi. Abang janji.”
Lio memandangi Dante dengan ragu, tapi akhirnya mengangguk pelan. “Abang Dante jangan nangis, ya. Lio… Lio nggak mau sendilian lagi,” katanya dengan suara kecil, huruf “r” yang cadel membuat nadanya terdengar manis.
Marco dan Rico segera menyusul. Marco langsung menarik Lio ke dalam pelukan hangat. “Selamat datang di rumah, Lio. Abang Marco janji bakal jagain Lio kali ini,” katanya sambil mengusap lembut kepala si bungsu.
Lio mendengus kecil, meskipun wajahnya mulai menunjukkan senyum tipis. “Abang Malko, jangan suka pegang-pegang kepala Lio…”
Rico, yang biasanya lebih kaku, kini tampak gugup. Ia berdiri beberapa saat di depan Lio sebelum akhirnya berkata dengan suara berat, “Lio… Abang tahu Abang banyak salah. Tapi Lio harus tahu, Abang selalu sayang Lio.”
Lio menatap Rico dalam diam. Setelah beberapa saat, ia mendekat dan memeluk abangnya itu dengan erat. “Lio juga sayang Abang Lico…”
Di tangga, Papa Luciano akhirnya muncul. Tubuhnya yang besar membuat langkahnya terdengar berat, menambah kesan serius pada suasana. Semua mata langsung tertuju padanya.
“Papa…” panggil Lio pelan, menatap pria itu dengan pandangan penuh harap sekaligus ragu.
Papa Luciano tidak langsung menjawab. Ia hanya berdiri di sana, memandang putranya yang sudah lama ia rindukan. Setelah beberapa saat, ia berlutut di depan Lio, menyamai tingginya.
“Lio, Papa tidak akan memaksamu untuk memaafkan Papa. Tapi Papa sangat bersyukur Lio mau kembali. Papa janji akan memperbaiki semuanya,” ucapnya dengan nada penuh penyesalan.
Lio menatap Papa Luciano dengan mata berkaca-kaca. Perlahan, ia melangkah mendekat dan memeluk pria itu erat. “Papa jangan benci Lio lagi, ya… Lio janji jadi anak baik…”
Papa Luciano membalas pelukan itu, tangannya yang besar membelai lembut punggung kecil Lio. “Papa nggak pernah benci Lio. Papa sayang Lio lebih dari apa pun.”
Suasana menjadi penuh haru. Elias, yang melihat semuanya dari sudut ruangan, hanya bisa tersenyum lega.
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, keluarga Salvatici duduk bersama di meja makan. Perbincangan mereka ringan, penuh tawa kecil.
“Lio, coba ini. Abang Dante masak spesial buat Lio,” kata Dante sambil menyodorkan sepiring makanan.
“Abang Dante masak? Lio nggak yakin ini enak…” goda Marco, yang langsung mendapat tatapan tajam dari Dante.
Rico hanya menggeleng sambil tersenyum, sementara Papa Luciano tertawa kecil melihat tingkah anak-anaknya.
Sebelum tidur, satu per satu abang-abangnya datang ke kamar Lio untuk memeriksa apakah ia nyaman. Dante membetulkan selimutnya, Marco memastikan kamarnya hangat, dan Rico meletakkan boneka kecil di samping bantalnya.
Ketika Papa Luciano mengetuk pintu terakhir, ia hanya berkata, “Tidurlah yang nyenyak, Lio. Papa di sini kalau Lio butuh apa-apa.”
Lio mengangguk kecil, matanya yang mulai terpejam memandang keluarganya dengan perasaan hangat yang sudah lama ia rindukan.
---

KAMU SEDANG MEMBACA
"ARLO SALVATICI" End
ActionArlo Salvatici, anak bungsu keluarga mafia ternama, lahir di tengah tragedi yang merenggut nyawa mamanya. Namun, kehadirannya justru dianggap sebagai kutukan. Dibenci oleh papa dan Abang-abangnya, Arlo tumbuh dalam cemoohan, tamparan, dan perlakuan...