Gennie
Semenjak kejadian pertemuanku di kafe, dua minggu kemudian Teh Annika meminta aku dan Kak Nathan untuk berkumpul di The Turning Cake untuk membicarakan jadwal. Aku langsung menempatkan satu tempat terenak untuk berdiskusi di pojok indoor kafe. Pada Minggu hari pukul 3 sore, Teh Annika datang bersama Teh Anna. Memesan Ice Americano, Ice Matcha Latte, kentang goreng, dan cireng rujak sebelum mereka menempati meja yang sudah kutandai dengan papan kecil 'Reserved'. Hanya selang 15 menit, Kak Nathan datang, memesan es kopi susu gula aren saja, dan memintaku menambah koleksi buku hukum, karena dia butuh untuk salah satu matakuliahnya sebelum akhirnya ikut berkumpul dengan si kembar. Shift ku selesai bertepatan dengan aku mengantar pesanan mereka dan tambahan minuman untuk diriku sendiri—ice butter scotch, aku sudah melepas celemek kerjaku saat mengantarkannya.
"Kang Dion dateng juga, teh?" tanyaku, berbasa-basi dan juga penasaran dan keheranan atas ketidak hadiran ketuaku.
"Dion ada pertemuan sama salah satu organisasi luar kampus, kemungkinan ajakan buat kolaborasi. Tapi karena organisasinya itu teman Dion dari Jakarta, jadinya mereka sekalian nongkrong santai." Aku mengangguk paham atas penjelasan Teh Annika, meski dalam hati ada kekecewaan bersamaan dengan rasa senang. Kecewa karena aku tidak bertemu lagi dengan Kang Dion, senang karena berarti aku tidak perlu melihat interaksi Kang Dion dengan Teh Anna.
"Ngomong-ngomong, Vi—eh, Gen. Tempat yang menurut kamu enak buat baca dimana?" tanya Teh Anna, mencodongkan tubuh kearahku, yang duduk berhadapan dengannya.
"Di teras depan enak, Teh. Tapi lagi rame karena hari Minggu. Kalo mau, di taman belakang atau gak ruang Introvert aja di lantai dua. Selalu ada tempat kosong kalo di sana," jelasku. Dan Teh Anna pergi dengan gela Ice Matcha Latte-nya beserta tas dan novel 'The Perks of Being a Wallflower' yang dia ambil di rak dekat kasir dan hendak dia baca sembari menunggu kami rapat. Setelah Teh Anna berlalu, akhirnya kami bisa sedikit lebih santai dan bisa memulai rapat kecil kami.
"Oke. Pertama-tama, terima kasih udah mau datang di hari Minggu ini, dan aku yakin kalian bingung kenapa aku cuman ajak sekretaris doang, dan bukan sekalian kemarin saat bersama BPH yang lain. Ini bersangkutan dengan jadwal dan proker aku sama Dion," Teh Annika memulai. Dia meraih totebagnya dan mengeluarkan buku catatan dengan stiker logo ACS yang berupa clapper hitam-putih di depannya. Klasik. "Dengan kesempatan dan aktifitas yang semakin banyak, tapi dengan SDM yang kami percaya cuman sedikit. Aku dan Dion memutuskan untuk membagi tugas proker. Dion akan fokus ke kolaborasi, pembuatan film, dan buat kegiatan rutin, Dion ambil Media Partner dengan tim *Marcom, dan buat Podacasting. Sedangkan aku bakal fokus ke kelas-kelas bidang Crative, Reporter, Campers, dan Editor, tapi untuk kegiatan rutinnya, aku bakal pegang hampir semua konten, tapi ini bakal dipantau juga sama koor yang lain. Nah, itu juga yang jadi alasan aku dan Dion untuk ambil sekretarisnya dua orang, dan orang-orang yang pernah kita kerja bareng," penjelasannya semakin membuatku paham kenapa era ini aku dan Kak Nathan yang dipilih.
*Marcom = Marketing Comunication
"Terus, kenapa Lu minta jadwal KRS-an kita? Gue belum bayar semesteran, Nik. Belum bisa isi KRS," tanya Kak Nathan, dan itu juga yang mau aku keluhkan, pasalnya Ibuku belum mengirimi uang juga, dan berakhir aku meminjam dulu dari Ua Hanna. Dan baru kemarin aku mengisi KRS bersama teman-teman ACS lainnya.
"Nah, kalo itu untuk menyamakan jadwal kampus kita dengan jadwal ACS. Biar para anggota juga gak banyak nganggur lagi, dan bisa kita arahkan." Teh Annika membuka ponselnya, mengutak-atik sedikit sebelum dia menutup ponselnya dan bersamaan dengan notifikasi masuk dari ponselku dan Kak Nathan dari Teh Annika yang berisi KRS-an kami berempat. "Setelah liat jadwal kalian, dan menyamakan dengan jadwal aku dan Dion, pasangannya jadi aku dengan Nathan, Dion dengan Gennie."
Manisnya. Aku mau angkat bicara,namun telunjuk Teh Annika teracung begitu saja. "Gak ada bentahan. Dan ini cuman bertahan selama semester ganjil ini doang, kok. Nanti semester genap kita atur lagi jadwalnya, mungkin bisa sekalian kita pilih hari dan waktunya. Oke?" tegas Teh Annika. Dan aku bungkam.
"Ini mah, biar gue ga sering main sama Dion, kan?" celetuk Kak Nathan, dengan picingan mata mencurigai Teh Annika yang masih memasang wajah tegasnya.
"Kalian berdua juga ga terlalu tegas, aku tahu kok kerja kalian sesantai apa. Dan aku tahu juga Gennie seperti apa, jadi aku juga sengaja milih KRS-an sama kayak kamu, ketimbang sama Gennie." Ok, aku makin tidak bisa membentah. Aku ingat bagaimana hanya dengan tatapannya saja, rekan Teh Annika akan bekerja sesuai arahan. Tapi aku sebagai pengarah?
"Teh? Yakin nih? Aku ga bisa marah-marah. Masih lebih jago Kak Nathan, deh," aku membela, atau bisa dibilang menyanggah.
"Tapi kamu meyakinkan, Gen. Kamu gak perlu suara besar, cukup menunjukkan fakta, contohnya, dan sedikit ngarahin, aku yakin kamu bisa menyeimbangi Dion. Kalo ternyata enggak, kita punya Gia dan Lukman di tim Marcom yang bagus dan agak galak. Bisa lah, kerja samanya," kata Teh Annika, begitu meyakinkan dan juga santai secara bersamaan.
Aku menghela nafas. Mulai agak menyesal karena menerima tawaran ini. Tapi secara bersamaan senang. Entah senang karena apa.
"Ok, kita lanjut ke pembahasan lain..."
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Apple Flower of Our Heart
RomanceDion dan Eve hanya berpacaran 5 bulan saat SMA, dan saat kuliah ternyata mereka harus bekerja sama di Komunitas Action Creative Studio dengan Dion sebagai Ketua dan Eve sebagai sekretarisnya. Masalah mereka tak hanya pada perasaan yang belum selesai...