2.b - Ajakan Pertama

8 1 0
                                    

Eve

Dari jauh hari, aku sudah izin untuk tidak ikut arisan Nini dengan teman-teman, seperti setiap bulannya kami ikuti. Alasannya karena aku mau istirahat karena akhirnya bisa melalui UAS pertama sebagai anak SMA. Dan Nini mengizinkannya, dan akhirnya pergi bersama Bang Febri, salah satu sepupuku. Tapi kali ini aku punya alasan untuk tetap di rumah, selain untuk membaca novel atau menonton film, Kang Dion datang ke rumah dengan sekantung snack yang aku yakini hasil comot-an di kulkas dan lemarinya di rumah.

"Enak aja! Gue beli tau di Alfa depan perumahan sana," elaknya saat aku menuduhnya. Hari ini dia lebih tampan dengan kaos putih dan cardigan hijau lumutnya, celana pendek chino, serta sendal rumahan yang terlihat sudah kotor namun memang masih nyaman digunakan. Penampilannya yang seperti ini rasanya baru kulihat pertama kali, karena biasanya Kang Dion memakai seragam atau hanya memakai kaos oblong dengan celana hitam apapun, serta sesekali hoodie hitamnya yang selalu dibawa. Tapi sepertinya Kang Dion juga baru pertama kali melihatku memakai baju rumah. Biasanya aku memakai baju pergi—blouse atau kaos dengan celana jeans atau celana kain—saat bermain ke rumahnya, kali ini aku memakai kaos putih lengan pendek dan celana training abu panjang yang paling nyaman.

"Iya deh, aku percaya sama KANG Dion," kataku, mendahuluinya memasuki rumah dengan kata 'Kang' yang sengaja ditekankan. Semalam, saat kami bertukar kabar sebelum tidur, ternyata Kang Dion masih kesal dengan panggilan 'Kang'. Kang Dion berdecak kesal saat turun dari motornya dan mengekoriku.

Aku senang dia merapikan sendalnya di depan pintu, menutup pintu namun tidak sampai rapat, dan menyugar rambutnya saat memasuki lebih dalam rumahku dan menghampiriku di dapur. Dia duduk di kursi di meja makan, memperhatikanku memasukkan sekotak es krim dan sebotol besar teh manis kemasan, dan memasukkan makaroni pedas serta keripik kentang rumput laut ke dalam toples dan membawanya ke tempat Kang Dion berada.

"Ok, kita mulai dari mana, Kang Dion?" tanyaku sembari meletakkan dua toples di ujung meja bagian dinding, dan aku duduk berhadapan dengan Kang Dion, dan tepat di depan laptopku yang tertutup.

"Pertama, gue ga mau dipanggil 'Kang'. Gue mau dipanggil 'Mas'." Permulaan yang tepat sasaran.

"Mas?" aku mengulang dengan bingung. "Kenapa 'Mas', Mas?" aku terkekeh setelah bertanya. "Apa karena Mas Dion keturunan Jawa, jadi maunya dipanggil 'Mas'?" tebakku.

"Dulu waktu Diana lahir, Papa bilang kalo gue pengennya dipanggil 'Mas', tapi Mama lebih setuju panggilannya 'Abang'. Katanya kalo 'Mas' kayak tukang jualan. Padahal sama aja, yah," jelas Kang—eh, Mas Dion. Well, aku harus membiasakan diri.

"Oke deh, Mas. Kalo gitu, aku mau Mas Dion mulai biasain jangan pakai 'gue-lu' lagi kalo sama aku. 'Aku-kamu' kayaknya normal, gimana?" aku mulai berkompromi. Dan respon Mas Dion berdesis aneh.

"Lu tahu kalo panggilan 'gue-lu' itu gue pake kalo udah nyaman sama orang, karena gue nyaman sama lu, makanya panggilannya 'gue-lu'. Gue kayak gini juga cuman ke temen-temen deket doang, kok."

"Tapi aku gak suka, Mas. Kalo pake panggilan 'Mas-Eve', kesannya sok romantis juga, *asa geuleuh."

*asa geuleuh = terasa geli

Mas Dion mendekatkan wajahnya dengan senyuman jahilnya yang sering dia pasang jika mau mengerjai Diana. "Mas suka aja, tuh. Kerasa lebih spesial kalo Eve izinin," ucapannya membuatku mengernyit. *Tetep geuleuh, ya gusti!

*Tetap geli, Ya Tuhan!

"Aneh banget ih, Mas! Eve ga suka!" Dan aku tertegun sendiri. Dan Mas Dion tertawa penuh kemenangan.

Apple Flower of Our HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang