2.a - Ajakan Pertama

6 1 0
                                    

Eve

"Gue suka sama Lu..." Aku seharusnya tidak kaget. Semua perlakuannya, semua sikapnya, semua cara tatapnya, Diana yang bercerita tentang Abangnya, dan tentu cara dia bertanya apakah aku dekat dengan yang lain selain dia sudah menunjukkan bahwa dia memang menyukaiku. "Ayo kia pacaran." Tapi menjadi bagian dari hidup seseorang yang sempurna? Apakah aku layak?

Aku melepas pelukannya dan berusaha melepas tangannya dari tubuhku. "Kang Dion yakin?" aku berusaha meyakinkannya.

Dion terkekeh dengan anggukan. "Tapi kalo Lu gak suka gue, Lu boleh nolak, Vi."

"Enggak! Aku juga suka Kang Dion, kok." Kenapa aku berseru begitu? Mata kupejamkan dengan mulut terkulum dengan malu.

Tapi sungguh, aku suka dengan Dion. Itu menjadi alasan utama kenapa aku nyaman dengannya ketimbang cowok yang lain meski hanya melalui obrolan. Aku suka padanya, bahkan seluruh keluarganya, meski aku belum bertemu dengan Papa-nya. Aku suka saat wajah lelah sehabis rapatnya. Aku suka saat dia memarkirkan motor Naked Bike di lapangan parkiran. Aku suka interaksinya dengan adik-adiknya. Bahkan aku suka saat dia garang di hari pertama MPLS. Jadi saat ia memanggil namaku, meski dengan salah penyebutan, aku begitu senang. Betapa terkejutnya aku, teman pertamaku sendiri adalah adik dari Budiono Santosa Pratama, gebetan pertamaku. Apakah aku hidup di drama Korea? Kebaikan apa yang kulakukan dikehidupan lampau sampai aku mendapatkan keberuntungan ini?

Saat mataku terbuka, Kang Dion sedang tersenyum manis lalu menghalau poni panjangku ke belakang telinga. "Kalau gitu, kita pacaran, nih?" tanyanya, meyakinkanku dengan suara beratnya.

Jantung ku saja sudah berdegup tak karuan saat tadi memeluknya, sekarang semakin gila debarannya. Mungkin aku harus menjawabnya agar debarannya mereda. "Ayo," cicitku. Dan aku tahu dia mendengarku dengan baik, karena senyumannya semakin lebar dan dia kembali maju untuk memelukku dan kembali mendaratkan kecupan di pelipisku.

***

"Hai, Nini Nani! Kenalin aku Dion, pacarnya Eve."

"Wah, akhirnya Gennie punya pacar. Tolong jagain ya, *Jang Dion," ucap Nini dengan senang dan menerima uluran tangan Kang Dion. Nini ga bisa memanggil 'Eve' sejak dulu, jadi khusus beliau aku dipanggil Gennie (Jeniy, cara bacanya, mirip Jennie BP). "Nini udah tahu dari kemarin-kemarin, tuh, Dion suka sama Gennie. Akhirnya di tembak juga," tambah Nini.

*Jang=Ujang=Anak laki-laki, biasanya panggilan manis, sama seperti Neng kalo ke cewek

Setelah kami berpelukan, Kang Dion meminta izin untuk memperkenalkan diri kembali ke Nini, kali ini sebagai pacarku. Tentu aku mengizinkan. Tapi aku tidak menyangka Kang Dion akan berlari, mengetuk pintu dengan sedikit brutal, dan langsung mengulurkan tangan sesaat setelah Nini membukakan pintunya. Lucunya pacarku. Well, aku harusnya tidak heran dengan sikapnya yang satu ini, aku sudah pernah melihat sifat konyolnya ini setiap istirahat, pulang, bahkan saat aku melihatnya melewati koridor sekolah. Agak curiga juga kenapa dia yang dipilih menjadi Kakak Tatib selama MPLS sedangkan sifatnya setengil ini.

"Nini baru bikin bubur kasang hijau, kesukaan Gennie. Hayu masuk atuh, Jang," ajakan Nini lebih mengarah kepemaksaan saat beliau menarik Kang Dion masuk dengan kaki yang saling mendorong untuk melepas sepatunya. Aku hanya geleng-geleng kepala sembari merapikan sepatunya dan sepatuku, memakai sandal rumah, dan menyusul mereka ke ruang tengah. Ini hari Sabtu, berarti malam pilem, kalo kata Nini.

"Ni, Kang Dion kan kurang suka makanan manis," kataku, mengingatkan sembari duduk di sofa di sebelah Kang Dion.

"Gapapa kok, kalo bubur kacang hijau aku suka," elak Kang Dion, cepat. "Tapi ada snack lain kan, Vi?" meski begitu, dia tetap berbisik untuk mendapat makanan asin.

"Masih ada bala-bala sama tempe goreng, bentar." Aku bangkit untuk mengambilnya sedangkan Nini dan Kang Dion mulai makan bubur kacang hijaunya. Nini sudah begitu pintar dengan teknologi 2000-an, jadi sembari menunggu ku menghangatkan gorengan, beliau sedang mempersiapkan film yang akan kami tonton. Kang Dion membantu memilih. Dan saat aku hadir, film Narnia : Prince Caspian sudah dimulai. Nini suka film fantasi dengan latar belakang Eropa, jadi sudah pasti Narnia menjadi favoritnya.

"Jadi ini kencan pertama kita, Vi? Nonton sama Nini?" bisik Kang Dion saat aku kembali dengan sepiring bala-bala dan tempe goreng.

"Besok lagi kita rencanain date-nya," kataku, duduk di bawah dekat kaki Kang Dion, meletakkan piring gorengan dan mengambil semangkuk bubur kacang hijau untuk diriku sendiri. Kalo Kang Dion mampir, seketika aku jadi cucu favorit kedua di mata Nini. Dan aku tidak keberatan. Toh, memang Kang Dion orang favoritku juga.

Sekitar jam sembilan malam, Nini sudah pamit tidur. Jadi Kang Dion juga pamit untuk pulang. Dalam hati, aku harap Kang Dion bisa singgah lebih lama. Aku tidak hanya ingin meluangkan waktu dengannya, aku ingin ngobrol, mungkin sambil bermain UNO, aku ingin bertanya bagaimana rapatnya hari ini, karena aku belum sempat bertanya.

"Besok gue jemput, mau? Kita main di rumah gue," ajakannya yang sembari duduk di kursi kayu panjang di teras dengan sepatu di sisi kanan kakinya kuberikan gercapan mata tiga kali. Bingung, senang, takut, semua tercampur. "Atau mau kemana, gitu? Kita belum ngobrol banyak, kan," tambahnya, ternyata dia memikirkan hal yang sama denganku.

Aku duduk di sampingnya, masih mengenakan seragam sepertinya, dan aku yakin dengan perasaan senang yang sama sepertinya, karena sudut bibirnya yang melengkung dan terlihat tidak bisa berbohong. Akhirnya setelah hampir 6 bulan dekat, ada sesuatu yang lebih diantara kami berdua. "Besok Nini ada arisan sama teman-temannya—"

"Apa kita ikut arisan mereka aja, Vi?" aku terkekeh dengan celetukkan Kang Dion yang tiba-tiba.

"Jangan dong, yang ada kamu jadi rebutan mereka buat dijadiin calon cucu mantu." Sembari ikut terkekeh, Kang Dion mulai mengikat sepatu sekolahnya. "Enggak, maksud aku itu kita ngobrol di sini aja. Ada yang mau aku tunjukin soalnya, Kang," jelasku, pelan-pelan.

Dia mengernyit sembari kembali menegakkan tubuh. "Jangan manggil Kang, ah. Gue pacar Lu, bukan cuman kakak kelas dan kakak dari temen Lu," katanya, terlihat kesal.

"Enggak, ah. Kang Dion lebih enak, kayak Mama Gina sama Appa Jay, lebih romantis aja, gitu," kataku, agak mencicit karena merasa malu.

Kang Dion terkekeh. "Tapi Lu manggil kakel yang lain juga 'Kang', jadi gue ga ngerasa spesial, Vi," katanya, lalu bangkit dan mulai memakai tasnya.

"Kang Dion juga manggilnya 'gue-elu' aku ga komplein." Wajahnya terlihat tertegun disaat wajahku cemberut.

"Iya yah, yaudah kalo gitu, kita besok lagi ngobrolnya," katanya sembari berjalan menuju motornya dan aku mengekori. Dia berbalik dan memasang senyum lembut. "Kita ngobrol disini aja, kan?"

Aku mengangguk, sebagai jawaban. Saat Kang Dion akan mengambil helmnya, kutahan sikutnya. Dia kembali menoleh dan aku melangkah maju untuk kembali memeluknya. Dengan kekehan senangnya, dia membalas pelukanku. Aku tidak yakin dalam bentuk apa pelukan ini, apakah pelukan perpisahan, pelukan terima kasih, pelukan senang, pelukan apapun itu, aku hanya ingin memeluk Kang Dion-ku.

***

Apple Flower of Our HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang