Dion
"Lu malu-maluin gue banget sih, Din. Heran," bisikku berjalan disebelah adikku yang sedang jalan jongkok bersama 14 teman barunya mengelilingi lapangan yang dipayungi sinar kanopi, meski tetap ada sinar matahari memasuki beberapa celahnya. Meski namanya Diana, kalo kesal aku memanggilnya Dina biar cepet.
"Ya, maaf. Tadi Eve minta ditungguin, tuh," alasan adik sendiri hanya kuberi decakan kesal. Siswa baru ini kami beri hukuman karena telat masuk sekolah. Seharusnya mereka masuk pukul 06.45 dan diberi kelonggaran sampai pukul 07.00, tapi mereka melewati gerbang pukul 07.01. "Besok bareng yah, Bang. Please," bisik Diana, mulai ngos-ngosan.
"Gak! Motor gua penuh," ketusku dan sengaja meninggalkan dia dengan yang lain, dan kembali berteriak untuk menyemangati mereka. Sampai aku menyadari ada nametag yang jatuh dan diinjak-injak yang lain. "Berhenti!" Dan semuanya nurut. Aku menghampiri nametag itu, dan menariknya dari kaki salah satu siswa. Membacanya dengan kening berkerut, berusaha mengucapkannya dengan benar. Yasudah lah, nanti juga orangnya bakal ngoreksi. "Gene-vi-eve, berdiri!" Tidak ada yang merespon.
"Masa ga ingat nama sendiri?" Annika membantuku, tapi dia terdengar begitu kejam.
Aku menghela nafas dan memilih memanggil nama lain yang tertulis. "Nama panggilannya Efe, berdiri!" Sekitar dua gadis di depan Diana berdiri dengan kepala tertunduk. Aku menghampirinya. "Efe?"
"Cara bacanya 'ifi', Kang," dia mengoreksi. "Dan maaf mengoreksi, nama saya Genevieve Yalina." Aku membacanya lebih cermat. Oke, aku mengakui caraku membaca nama orang bule jelek. Tapi aku baru tahu inilah teman adikku sendiri.
"Inget nametag itu apa?" Menjadi tatib berarti ketegasan, itu sedang ku lakukan.
"Identitas dan harga diri, Kang," jawabnya, suaranya begitu lembut tapi tidak terdengar ketakutan. Bagus juga.
"Dan kamu biarin harga diri kamu terinjak-injak sama teman-teman kamu sendiri?" kataku dengan suara rendah dan berusaha menatap matanya yang begitu turun menatap punggung temannya yang dibelakang. Aku tahu ini cara menghargai, tapi aku pun gak suka jika diajak bicara gak natap matanya. "Angkat kepala kamu, dan jawab." Ini di Bandung, meski terdengar tegas menuju ketus, aku tetap berusaha untuk ga manggil orang yang ga dekat dengan panggilan 'Lu'.
Eve mengangkat kepalanya namun matanya ke arah depan, lalu menjawab: "Siap. Tidak, Kang."
Ada keteduhan di matanya yang bulat dan berwarna coklat terang. Dari nama, raut wajah dan rambutnya, semua orang tahu dia blasteran. Tapi mata teduh dan suara lembutnya itu begitu santun layaknya cewek Sunda yang ku kenal. Astaga, aku harus fokus.
"Apa cita-cita kamu?" aku bertanya sebagai hukuman kecilku, dan juga rasa penasaranku.
"Menjadi guru, Kang."
"Guru dari anak-anak Akang mau, gak?" Erik berceletuk, dan beberapa panitia, termasuk terkekeh.
"Apa profesi itu hina menurut kamu?" tanyaku, memojokkan.
"Menurut aku malah mulia, Kang."
"Kalo gitu, dengan cita-cita yang kamu tulis di sini, kamu mau diinjak juga, gitu?"
Wajah Eve berubah merasa bersalah. "Siap. Sekali lagi, saya salah. Maaf, Kang," katanya tegas. Dan aku merasa tidak tega.
Nametag nya kusodorkan. "Pakai lagi nametagnya dan keluar dari barisan, terus push up dua puluh kali sebelum lanjut keliling lapangan sambil jalan jongkok," perintahku. Eve mengambilnya, menyematkannya di seragam SMP-nya, keluar dari barisan dan siap-siap push up disaat aku kembali berteriak. "Yang lainnya lanjutin jalan jongkoknya!" Dan semuanya kembali menurut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apple Flower of Our Heart
RomansaDion dan Eve hanya berpacaran 5 bulan saat SMA, dan saat kuliah ternyata mereka harus bekerja sama di Komunitas Action Creative Studio dengan Dion sebagai Ketua dan Eve sebagai sekretarisnya. Masalah mereka tak hanya pada perasaan yang belum selesai...