Eve
Besoknya Nini pergi ke pasar dan kali ini bukan hanya aku yang menemani, tapi Mas Dion juga yang datang jam 6 pagi karena tadinya dia mau mengajakku sarapan bersama di tukang bubur langganannya. Tapi rencananya berubah mendengar Nini berencana memasak nasi liwet untuk brunch kami. Aku dan Nini tidak bisa sarapan berat, namun kalo makan sekitar jam 10 pagi, kami bisa dan itu menjadi kebiasaan kami setiap aku libur sekolah seperti sekarang ini. Tapi Mas Dion tidak bisa, jadi aku membelikannya lontong dan gorengan, lalu dia memakannya sembari mengikutiku dan Nini berkeliling membeli bahan-bahan.
Mas Dion tiba-tiba sangat aktif bertanya perihal bumbu dapur dan bertanya bagaimana cara memasak suatu bahan makanan semenjak obrolan tidak penting kami kemarin siang. Tapi setelah keluar dari pasar, dengan wajah penuh kerutnya yang kebingungan Mas Dion bergumam: "Gak jadi aja deh jadi Bapak rumah tangga yang jago masak, gofood juga bisa, kan." Dan aku hanya terkekeh sembari menepuk-nepuk pelan bahunya yang lemas.
Anehnya, sesampainya di rumah, Mas Dion tetap membantu kami memasak, yah hanya sekadar mengupas bawang dan memotong tempe aja. Tapi itu sangat membantu kami yang biasanya hanya masak berdua saja. Sekitar jam 9.40 pagi, beberapa sepupuku datang. Mereka yang datang diantaranya sudah kuliah dan masih SMA, seperti ku. Momen inilah yang paling Nini sukai, dan Mas Dion terkejut melihatnya, meski diawal aku sudah memberi tahu akan datang sepupu-sepupuku.
"Yang pake kemeja flanel itu Kang Vian, kuliah jurusan teknik interior. Yang pake hoodie Kang Erik, kuliah jurusan seni murni. Yang kaos hitam Kang Jidan, anak IPA di SMANDU kelas sebelas. Yang kaos hijau itu Bang Febri, jurusan tata boga di NHI. Nah, nyempil tuh satu cewek, itu Teh Muti, lagi gep-year sambil les Bahasa Jerman. Rencananya mau kuliah di Jerman, tapi sifatnya yang labil bikin Kang Vian sama Bang Febri taruhan Teh Muti jadinya kuliah di Bandung juga," jelasku, berbisik pada Mas Dion siapa saja yang hari ini datang. "Sepupu aku masih ada tiga lagi, tapi sisanya itu udah kerja dan berkeluarga, jadi jarang datang ke sini," tambahku.
"Ibu kamu berapa bersaudara?" tanya Mas Dion, berbisik. Aku paham kenapa dia curiga. Aku anak tunggal, dan mungkin dikira Ibu ku juga tunggal.
"Cuman empat bersaudara. Tapi Ua Endah dan Ua Pajar sama-sama punya tiga anak. Ada Ua Purnama anaknya dua, Teh Muti dan Kang Jidan. Terus terakhir Ibu yang cuman punya aku. Kang Vian sama Bang Febri kembar anaknya Ua Pajar, kakak mereka Kang Putra tinggal di Bogor. Kang Erik anaknya Ua Endah, kedua kakaknya perempuan udah pada nikah." Ditanya satu hal, tapi aku suka menjelaskan lebih banyak ke Mas Dion. Tapi dari penjelasanku, Mas Dion bisa menjadi dekat dengan mereka, apalagi dengan Kang Vian. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi terlihat dari raut wajahnya Mas Dion serius mendengarkannya berbicara.
"Akhirnya Neng Bungsu ini punya pacar, Ni," kata Teh Muti menghampiri aku dan Nini yang sedang menyiapkan alat makan. Teh Muti menggeser beberapa piring di kabinet dapur. "gerade erst angefangen, Eve?" tanya Teh Muti dengan senyuman penuh artinya. Tapi sayang, aku hanya mengerti sedikit Bahasa Jerman, dan Nini merasa tersinggung mendengarnya.
"Upami hayang nanya, kanggo Basa Sunda, sakalian, geulis,*" geram Nini kami beri tawa.
*"Kalo mau bertanya, pakai Bahasa Sunda, sekalian, cantik,"
"Hapunten atuh, Ni*," tutur Teh Muti. Lalu balik bertanya padaku. "Baru jadian, Eve?" ulang Teh Muti.
*"Maaf deh, Ni."
Aku melirik Mas Dion sekilas, yang balas melirikku dengan alis terangkat, memastikan aku butuh bantuannya. Tapi aku harus menjawab terlebih dahulu pertanyaan Teh Muti. "Iya, Teh. Baru tiga hari," jawabku. Lalu aku kembali melirik Mas Dion dengan gelengan sebagai jawaban pertanyaan alis-nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apple Flower of Our Heart
RomanceDion dan Eve hanya berpacaran 5 bulan saat SMA, dan saat kuliah ternyata mereka harus bekerja sama di Komunitas Action Creative Studio dengan Dion sebagai Ketua dan Eve sebagai sekretarisnya. Masalah mereka tak hanya pada perasaan yang belum selesai...