3.a - Peristiwa Pertama

9 1 0
                                    

Dion

Aku sempat mengira Eve akan menolak permintaanku dengan amarah atau apalah, tapi ternyata dia menerima dengan baik tanpa banyak bertanya dan perlawanan. Aku sempat meyakinkan dirinya jika dia merasa keberatan atau ingin bertanya, karena aku pun akan memberikannya, namun tidak ada. Eve hanya menjawab "Aku tahu Mas selalu punya alasan yang baik, jadi aku percaya." Dan aku semakin merasa lega telah memilihnya.

Sisa malam ini berjalan baik. Kami banyak bercerita, banyak tertawa, banyak memberi informasi yang aku tidak tahu atau dia tidak tahu. Aku baru tahu film series Narnia, Harry Potter dan Lord of the Rings sebelumnya adalah novel berseries dan bukan hanya film. Aku juga baru tahu sebelum adanya 3 film Narnia yang selama ini kuketahui, jauh sebelumnya pada tahun 1988 ada film Narnia yang pertama. Kami melihatnya sekilas di YouTube membuatku tertawa sekaligus terkagum-kagum dengan kualitasnya yang meskipun rendah, namun tetap bisa maksimal.

"Tapi mereka berani banget di tahun delapan-puluhan itu buat Narnia, Dune, Star Wars, terus film-film itu dikembangin atau dibuat ulang pas teknologi makin bagus, terus jadi makin besar juga fandom-nya," cerita Eve yang selalu menarik. Aku tidak memperhatikannya hanya karena dia pacarku, aku benar-benar menganggap apa yang diceritakan memang menarik, yang dia baca itu menarik, yang dia tonton menarik, tapi yang paling menarik adalah sambal yang sadari tadi tak dia hiraukan. Ku ambil tisu dan ku seka sambal itu di dagunya.

"Aku kira Narnia dan Dune itu baru dibuat, ternyata dari dulu udah ada, yah," kataku, berkomentar setelahnya. Dan kulihat wajah Eve agak memerah dan ku terkekeh karena bingung. "Kenapa, vi?"

"Mas ga bilang ada sesuatu, malah main lap aja," cicitnya sembari cemberut.

"Mas ga mau ganggu kamu cerita asik begitu." Aku menghela nafas, mencari topik lain. "Tapi berarti di masa depan mungkin aja yah, film bagus dibuat ulang? Jadi gak ada originalnya, dong," kataku, berusaha membangkitkan mood berceritanya lagi.

"Kalo fantasi, bisa jadi. Mungkin aja Frozen yang live action bakal lebih keren. Makanya aku perhatiin, sekarang cerita original itu di genre drama, soalnya banyak dikembangin..." dan aku berhasil. Eve cukup mudah terpancing jika sudah sekali dilempar kailnya.

Aku baru mengantar Eve pulang sekitar pukul setengah 10 malam. Beruntung Nini tidak marah, karena tahu bahwa kami masih libur meski besok adalah hari Selasa. Dan seperti kemarin, sebelum aku pulang ke rumah, Eve memelukku dengan erat.

"Hari ini Eve senang?" tanyaku dalam pelukan kami. Aku bisa merasakannya menganggukkan kepala. "Mas juga senang hari ini." Perasaan lega karena hari ini kami lewati dengan bahagia, namun perasaanku mulai tak enak, tapi aku tidak mau menjadi seseornag yang menghilang tanpa kabar. "Besok Mas ga bisa main sama Eve dulu, yah. Tadi diajak Geng Burger kumpul sebelum Natalan," kataku akhirnya mengatakannya. Dan aku bisa merasakan kembali Eve mengangguk pelan. Ada ketakutan saat aku melepas pelukan kami, ada raut kekecewaan diwajahnya, namun tidak ada, masih dengan senyuman ramah dan mata mengantuk yang Eve tunjukkan. "Kalo ada apa-apa, chat aja, oke? Mas bakal cepet jawab, kok," tambahku.

"Enggak akan, Mas. Aku tahu Mas butuh ketemu teman-teman juga. Salam yah, buat yang lain khususnya Teh Anna. Udah lama banget aku ga kontakan dan cerita-cerita sama dia," katanya, dan aku mengangguk. Meskipun aku tidak bisa janji untuk menyampaikannya, mengingat perjanjian kita untuk menutup hubungan ini kecuali dari keluarga kita.

"Eh, Jumat kosongin jadwal yah, Mas mau ngajakki kamu ketemu keluarganya Mas," ajakanku diberi kernyitan di keningnya.

"Aku kan udah pernah ketemu keluarga Mas Dion, mau ketemu lagi gimana?" Ternyata Eve heran.

Aku terkekeh lagi. "Sekarang Mas kenalin Eve sebagai pacarnya Mas. Kemarin kan kenalinnya cuman sebatas temannya Diana," jelasku. "Nanti ajak aja Nini, pasti Mama senang juga bisa kenalan sama Nini," tambahku.

Apple Flower of Our HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang