15 - Ajakan Kedua

3 1 0
                                    

Gennie

Perasaanku lebih lega dan tenang setelah kejadian kemarin. Memang ada rasa malu dan takut ketahuan, tapi entah bagaimana itu tidak terlalu semengganggu sebelum aku mengutarakan semuanya. Setidaknya aku menebus satu dosaku pada salah satu orang yang ku sayangi. Dan sekarang aku bisa lebih fokus bekerja.

Mungkin itu yang kuharapkan pada awalnya. Tapi kali ini malah kebalikan, sikap Pimred ku seketika terasa mengganjal yang kali ini membuatku penasaran. Kang Dion seperti selalu kabur setiap kali ada momen berdua denganku ataupun hanya bersebelahan denganku. Jika kemarin-kemarin aku paham alasan dia menjauh, tapi kali ini aku bingung kenapa. Kukira pengakuan yang kemarin membuat hubungan kami membaik. Bukannya aku berharap kita balikan, aku masih ingat peraturan BPH, tapi setidaknya kami bisa jauh lebih dekat ketimbang hanya sekadar rekan. Teman ngobrol dan curhat, mungkin. Atau setidaknya dia bisa bilang bahwa dia menyadari perasaannya pada Liana, tapi tidak juga.

Seharian itu fokus ku pada penutupan acara. Memastikan seluruh kamera yang kami pinjam dari Lab kampus masih aman. Selalu meminta pendapat pada Kang Trian hasil video apakah sudah cukup atau belum. Ikut membantu Teh Aura bahwa tempat makan malam kita untuk mengakhiri syuting kali ini sudah tidak lagi ada kendala. Dan sesekali mengobrol santai dengan Liana dan Teh Gia soal makeup yang hari ini kami pakai. Teh Annika yang malah menggantikan posisi kekosongan Kang Dion sebagai rekan kerjaku. Tapi aku tentunya tidak keberatan.

Sekitar pukul 9 malam, kami berpamitan pada tim Kesatria Kebudayaan, meski acara masih berlanjut. Kami makan malam di salah satu tempat makan yang sudah Teh Aura dan aku pesan, yang kebetulan memang buka sampai subuh. Setelah semua makan, sebagai sutradara Kang Trian menutup kegiatan syuting hari ini, mengucapkan terimakasih yang banyak, dan memandu jargon ACS atas suruhan Kang Dion.

"Camera, roll..." Suara serak Kang Train begitu memprihatinkan saat berteriak jargon.

"AND ACTION!" dan tepukan tangan menggema seluruh restoran yang mulai sepi.

"Ayo, siapa yang mau bareng gue?" Kang Dion tiba-tiba mengajak siapapun yang tidak punya kendaraan. Selama syuting aku tidak membawa motor, aku selalu naik ojek online. Jadi mendengar ajakan itu, aku langsung angkat tangan bersama Liana, Ciko, dan Mumtaz.

"Kamu gak ada motor, Teh? Bareng motor aku aja, atuh," Fio tiba-tiba mengajakku.

"Gennie searah sama gue," ujar Kang Dion, tiba-tiba sudah disisi lain diriku. Dan aku tahu rumahnya belum pindah, masih agak jauh dari rumahku. "Yuk, biar cepat istirahat juga." Lalu dia berlalu menyalami yang lain, mengambil tasnya dan tas kamera Lab kampus, dan berlalu duluan menuju mobilnya. Aku, Liana, Ciko, dan Mumtaz mengekorinya. "Duduk depan, Gen," seru Kang Dion saat aku meraih pintu mobil belakang.

Aku mengerjap mata dengan bingung atas sikapnya. Bukannya tadi Kang Dion menghindariku, kenapa dia seakan menarikku kembali? Aku saling pandang dengan Liana, yang tadinya berharap bisa duduk bersebelahan denganku, tapi akhirnya tidak jadi.

Kang Dion mengendarai dengan tenang bersama dengan playlist lagu yang kebanyakan Keshi, the Chainsmokers, Rich Brian, dan tentu Bruno Mars. Tapi sesekali lagu milik NIKI, Lauv, dan HiVi! mengalun yang membuat kami ikut bernyanyi. Kang Dion menurunkan Liana dan Ciko di kampus karena kost-an mereka di dekan kampus. Lalu kami mengantarkan Mumtaz sebelum akhirnya menuju rumahku.

"Nasi goreng yang dulu masih ada, kan?" tanya Kang Dion saat tinggal 2 lampu merah lagi sampai perumahanku.

"Masih, Kang," jawabku dengan kening mengernyit bingung.

"Mampir dulu, yah. Diana lagi begadang, nitip makanan buat nemenin dia bikin tugas," katanya, sedikit menjelaskan. Dan aku tidak bertanya lagi. Tapi aku memperhatikan genggaman erat Kang Dion pada setir mobilnya. Dia kenapa sih?

Apple Flower of Our HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang