27

479 60 2
                                    



..

Mavey terbangun dengan badan, pegal linu mas.

Masih di bawah pohon rindang, hanya dengan latar belakang langit yang sudah gelap, Mavey berfikir. Apakah tidak ada yang melihatnya dan mencoba membangunkannya?

Tapi, mungkin seharusnya Mavey tahu kalau lebih dari 20 orang membangunkannya, namun dia menolak dan malah berakhir memukul mereka.

Bukti nyata yang sulit di perlihatkan.

Dia bangun dan terduduk. "Apa lanjut tidur bangun besok ya?"

Mavery mengerucutkan bibirnya. Dia menggeleng dan bangkin berdiri.

Mulai berjalan meninggalkan pohon yang merasa kehilangan. Berjalan melewati lampu taman yang sudah menyala.

Mavey mengaguminya. "Di sini pake apa ya? Kan kalo di rumah pake listrik?"

Namun, Mavery mengendikkan bahunya sendiri, seolah menjawab pertanyaannya sendiri.

"Ya ngapain di pikirin anjir? Di kira gua teknisi?"

Sepanjang lorong akademi, Mavey sempat bertemu beberapa kali dengan pelayan dapur yang membawa beberapa kantong logistik.

Mungkin akan di olah untuk sarapan besok? Pikirnya.

Langkah kakinya melambat. Melihat seseorang yang familiar baginya, tengah menunduk dan mengendap-endap.

Memiringkan kepalanya, Mavery mendekat dan berdiri di belakangnya, ikut melihat apa yang tengah di amati manusia di hadapannya.

"Kuda."

Itu Davon. Remaja itu hampir melompat akibat panggilan tiba-tiba yang di terima dan membuatnya terkejut.

Davon menutup mulut Mavery dengan tangannya, kembali mengamati apa yang ada di depan sana.

Florence tengah berbincang dengan Robert. Rupanya keduanya memiliki urusan yang penting hingga harus berbincang dengan serius.

Namun mengapa remaja di hadapannya ini malah menunjukkan wajah sedih?

Apakah anak ini cemburu?

Tunggu... Mavery merasa ada sesuatu yang mengganjal. Dia meraih bahu Davon.

Remaja itu menoleh dan berkata. "Tak perlu menghiburku, aku tidak butuh."

Namun Mavery menggeleng. Air mukanya tak setuju akan perkataan Davon.

Wajah Mavery makin tak terlihat baik. Seolah menahan mulas, dan Davon mengalihkan pandangannya.

"Tolong kaki saya sakit." Ujar Mave.

Davon yang masih merenung itu terdiam. Dia menurunkan pandangannya dan menyadari apa yang di maksud anak itu.

Memang dari awal tak ada niat untuk menghiburnya. Mavery hanya meminta Davon untuk mengangkat kakinya karna telah menginjak kaki anak itu.

Kapalang malu. Davon malah mengerut. "Kau diam."

..

Arlo terlihat menjadi lebih pendiam akhir-akhir ini. Entah karna kasus Dexie atau yang lain.

Ms. Linear berdiri tak jauh darinya, menjelaskan pengetahuannya saat berburu di luar. Kali ini beruntungnya Mavey tak harus menerima penjelasan-penjelasan aneh.

Dia hanya mengangguk-angguk segala materi yang sekiranya penting.

Segelas air beras berada di mejanya, entah apa fungsinya, Mavey benar-benar tidak bisa berfikir rasional jika menyangkut ms. Linear.

Seolah segalanya terasa hanya seperti main-main saja.

Bahkan jika benar begitu, mengapa begitu malas menegurnya Mavey?

Jikalau Mavey tidak peduli pada hal-hal ini. Dia seharusnya bisa saja tidur. Namun mengapa raut wajah Orlo mengganggunya?

Dia kembali mengalihkan pandangan dan memperhatikan Orlo.

Wajah sayu itu makin terlihat jelas, kantung mata yang tadinya samar pun kini terlihat dengan berani mengelilingi bawah mata Orlo.

Mavey bukanlah Orang baik yang akan membantu siapapun yang berada dalam keadaan tidak baik.

Karna simpati, atau karna perasaan tanggung jawab sebagai saudara, membuat Mavey malah mengasihaninya?

Ms. Linear terus berada di sekitar Orlo. Jika ada seseorang yang teliti, seharusnya ia akan menyadarinya.

Pandangan Mavey meliar, mencari-cari siapa yang menyadarinya kecuali dirinya sendiri?

Itu Ariel, teman Orlo.

Sepertinya dia menyadarinya. Ketidak nyamanan yang di rasakan Orlo mungkin juga sama adi rasakan oleh Ariel.

Jemari ms. Linear mendarat di bahu Orlo, adegan itu hampir sama persis saat ada praktek perburuan.

Namun kali ini, terasa lebih sensual. Seolah tengah berusaha membelai anak remaja itu.

Sial. Mavery tiba-tiba mual.

Terlepas dari kesalahan-kesalahan Orlo padanya, tidak baik baginya membiarkannya.

Dia bangkit dan menjatuhkan segelas air garam itu. Pergerakannya mengejutkan semua orang.

Satu-satunya orang yang tak terkejut Orlo. Itu berarti anak itu memang sangat-sangat kelelahan dan kebingungan.

Mavey berpura-pura panik hendak memunguti pecahan kaca.

Namun kakinya menginjak pecahan itu. Pekikan membuat Linear mengerutkan dahi tak senang.

Tak senang karna kelasnya di ganggu. Begitulah sekiranya Mavey menggambarkan perasaan wanita itu.

"Ms. Saya sepertinya barus ke ruang pengobatan."

Linear menyipitkan kelopak matanya, melihat darah yang tercecer di lantai, dia menghela nafas kasar.

"Bawa siapapun bersamamu."

Mavey mengangguk. Ketika memanggil nama Orlo. Anak itu nampak terkejut. Padahal sedari awal dia hanya termenung dengan pikirannya sendiri.

Dia terlihat kebingungan saat Mavey meminta tolong padanya. Sedangkat Linear terlihat tak terima.

"Kenapa ha-harus Orlo?"

Mavey mengangkat kedua alisnya. Sudut bibirnya terangkat.

"Apa maksud ms? Saya tidak mengharuskan Orlo, saya hanya memintanya membantu saya."

Raut wajah Mavey merasa di tuduh. Dia melirik pada siswa lainnya yang mulai berbisik-bisik menyebut nama Linear.

"Lagi pula, Orlo adalah saudara saya. Dia yang tidak saya segani."

Linear terbungkam. Tidak ada cara menghentikan Mavey untuk membawa Orlo.

Padahal dia masih memerlukan Orlo, bagaimana ini.

Dia melirik Orlo dan menggigit bibir bawahnya, membiarkan Mavey membawa Orlo meski tak rela.

Dan Orlo yang seolah mendapatkan kesempatan itu. Segera bangun dan mendekat pada Avey.

Meraihnya dan memapah anak itu keluar dari kelas.




..

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bloviate.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang