18. Bocil-Bocil Kematian

377 61 17
                                    

Suarga
—18. Bocil-Bocil Kematian—

------

Kita itu bisa, hanya belum berani mencoba saja.

------


Wilard menunduk, tidak berani menatap bunda nya yang kini berdiri di hadapannya sembari melipat tangannya didepan dada. Wilard tau Yika tengah menahan emosi saat ini, dan ia sama sekali tidak bisa mengutarakan pembelaan apapun lagi.

Yika menarik nafasnya dengan lelah, melihat keadaan kedua anaknya saat ini membuat jantungnya nyaris berhenti berdetak. Wilard memang selamat, namun begitu banyak perban dan plaster yang menutupi tubuhnya. Sedangkan Shankara kini harus kembali terbaring di brankar rumah sakit dengan keadaan yang tidak bisa dibilang baik-baik saja.

"Bunda bingung harus marah gimana lagi, toh semuanya udah kejadian."

Wilard mendongak, takut-takut menatap bunda nya. "Maaf bunda. Wilard yang lalai, Wilard juga nggak bisa jagain bang Kara. Maafin Wilard."

Teo yang sedari tadi memperhatikan pun melangkah mendekat, merangkul sang istri dengan penuh perhatian. "Shankara udah baik-baik aja sekarang, tinggal nunggu pemulihan. Ayah rasa kita nggak bisa nyalahin mereka gitu aja, karena posisinya Wilard dibawa dan Shankara pasti nekat menolong adeknya. Juga pasti ada sesuatu yang bikin Shankara nggak bisa jujur sama kita."

Yika berpikir sejenak, seharusnya ia sudah sadar kalau memang sudah seperti itu dunia yang dimasuki kedua anaknya. Penuh dengan mara bahaya, ada saja konflik yang akan terjadi hingga mengakibatkan hal-hal semacam ini.

Dengan begitu Yika mengulurkan tangannya dan mengusap pipi Wilard dengan lembut. "Bunda khawatir banget, kamu nggak di apa-apain kan disana?"

Wilard menggeleng pelan, ingin jujur pun ia tidak sanggup karena tidak ingin membuat Yika kembali khawatir. "Aman, Wilard bisa melawan mereka dengan baik."

Yika kembali menghela nafas, berusaha melegakan hati nya agar tidak terlalu kalut dengan rasa khawatir. Yika sadar kalau Wilard belum pulih sepenuhnya, apalagi saat ini si bungsu sudah terlihat menahan kantuk.

"Sana masuk, temani bang Kara." Ujar Yika sembari tersenyum.

Wilard mengangguk, menyempatkan diri untuk mengecup singkat pipi Yika sebelum berlari kecil memasuki ruangan Shankara. Sementara Yika dan Teo berniat pulang dulu untuk mengambilkan baju ganti untuk Shankara dan Wilard.

Si pemilik ruangan sudah sadar sedari tadi, Shankara hanya berbaring sembari memperhatikan tetesan infus nya. Hingga perhatiannya teralih saat pintu terbuka dan Wilard masuk, ia langsung tersenyum dan menggerakan tangannya agar Wilard mendekat padanya.

Kalau boleh jujur sekarang Shankara begitu ingin memeluk Wilard, ia lega melihat keadaan Wilard tidak separah dirinya. Meski ada beberapa luka, namun Wilard sendiri pun tampak tidak mempermasalahkan hal itu.

"Hai." Sapa Wilard dengan pelan, mendudukkan dirinya disamping Shankara.

"Hai juga, lo udah makan?"

Wilard tertawa pelan. "Udah tadi, lo masih ngerasain sakit?"

Shankara menggeleng pelan. "Ini udah jauh lebih mendingan, sebentar lagi pasti sembuh."

Mendengar hal itu membuat Wilard merenung, rasa bersalah menyerangnya hingga ia tidak berani menatap langsung pada Shankara. Namun kakaknya itu jauh lebih peka, Wilard dibuat terkejut saat Shankara menyentuh pipinya.

"Maaf ya bang, lo jadi luka lagi gara-gara nolongin gue. Padahal seharusnya gue yang kena, harusnya gue yang ada di posisi lo." Ujar Wilard dengan lirih.

SUARGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang