Eve merapatkan jaketnya. Mungkin lebih tepatnya jaket Ervan, karena ia lupa membawa jaket hari ini. Jaket biru bertuliskan 'Adidas' kebesaran itu membungkus penuh tubuh Eve. Entah kenapa ia merasa dingin sekali padahal matahari bersinar cukup terik di atas kepalanya.
"Woy!"
Seseorang menepuk pundak Eve hingga ia terlonjak kaget.
"Sialan lo, Di. Kalo gue sampe jatoh kebawah saking kagetnya gimana?" Eve memang sedang berdiri di balkon depan kelasnya.
"Yaelah, lebay amat dah." Diana mencibir. Ia mengalihkan perhatiannya ke jaket yang dikenakan Eve.
"Siang bolong panas-panas gini lo make jaket? Gasalah? Mana Jaketnya maskulin banget lagi." Diana bergidik pelan.
"Ini punya Ervan tau." Eve mencibir. "Gatau nih. Gue ngerasa dingin banget hari ini."
"Lo masih sakit kali?" Diana mengangkat telapak tangannya dan menyentuh dahi Eve.
"Cuy, badan lo masih panas. Ke UKS aja ya?" Diana menyiratkan tatapan cemas.
"Tapi gue belom ulangan Geografi."
"Udahlah gampang, nanti gue bilangin ke Pak Hardi kalo lo lagi sakit. Biar besok susulan aja." Diana langsung menarik tangan Eve tanpa babibu lagi.
Eve berjalan terseok-seok mengikuti langkah kaki Diana. Ruang UKS ada di lantai 1, sedangkan kelas mereka ada di lantai 3. Jadilah mereka harus menempuh perjalanan yang 'cukup panjang' sekaligus menyiksa bagi Eve.
Diana membuka pintu ruang UKS yang tak dikunci begitu mereka sampai disana.
"Nah, sepi nih Eve." Diana masuk lebih dulu.
Eve mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang bercat putih ini. Bau obat pun tercium samar, dan sebuah kasur kecil terlihat di sudut ruangan.
"Lo tiduran aja disini. Mau gue bikinin teh manis?" kata Diana seraya membantu Eve naik ke tempat tidur.
Eve menggeleng, "Gausah, Di. Lo balik aja ke kelas. Palingan nanti istirahat juga gue udah mendingan kok."
"Yakin nih gapapa?"
"Pretty sure."
"If you need some help, just call me okay?" Diana mengelus lengan Eve.
"Iya."
Diana lalu meninggalkan Eve di UKS sementara Eve hanya berbaring disana. Menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Lebih tepatnya, dengan perasaan berkecamuk.
Ia memejamkan matanya sejenak. Berharap saat ia terbangun nanti, semua pikiran yang membebaninya akan segera hilang.
***
2 jam kemudian, Eve terbangun dari tidurnya karena mendengar suara pintu ruang UKS terbuka.
"Kemana nih penjaganya? Sepi amat."
Terdengar suara berat khas remaja laki-laki. Rasanya suara tersebut begitu familiar ditelinga Eve.
"Obat merah dimana ya?" Cowok tersebut kembali menggumam sendiri.
Eve akhirnya turun dari tempat tidur untuk memastikan siapa yang datang, atau barangkali ia bisa membantunya mencarikan obat merah.
"Sia-"
"ASTAGHFIRULLAH!"
Sepertinya orang tersebut terkejut mendengar suara Eve. Buru-buru ia menampakkan wajahnya.
"Gausah takut, ini gue-"
"Evelyne?"
"Kak Farrel?"