Chapter 18

1K 69 0
                                    

Eve mengambil jalan memutar lewat depan sekolahnya karena ia tahu gerbang yang ada di belakang sekolahnya pasti sudah dikunci. Ia melirik jam di tangannya, sudah hampir pukul 1 malam.

Begitu ia sampai di sebuah warung kecil yang sudah tutup di belakang sekolahnya, ia melihat sesosok remaja lelaki yang tengah berbaring di kursi panjang dengan tangan menutupi wajahnya. Celana abu-abu khas anak SMA masih menempel sementara kemeja putihnya sudah berganti dengan kaus hitam.

Eve berjalan pelan mendekatinya. Saat dirasa sudah cukup dekat, Eve menyentuh bahu orang tersebut dengan perlahan.

"Revin?"

Yang dipanggil langsung menoleh. Ia membuka tangannya dan terlihatlah disana, wajah lelah yang benar-benar mengerikan. Eve nyaris tak bisa mengenalinya kalau bukan karena pesan yang dikirim Revin tadi.

"Eve."

Revin menahan tangan Eve dan menatapnya lekat-lekat. Mata Revin memerah, dan ia nampak sudah tak mengenakan kacamatanya lagi. Rambutnya sudah berantakan dan wajahnya sangat kotor. Eve sampai harus menyembunyikan ketakutannya.

"Lo kenapa?" Eve membuka suaranya.

Bukannya menjawab, Revin malah menarik Eve ke dalam pelukannya. Anak lelaki itu menangis di pelukan Eve, benar-benar menangis.

"Sssshh..lo kenapa? Cerita dulu sama gue." Perlahan, tangan Eve terangkat dan ia mengelus punggung Revin.

"Aku udah gak tahan lagi, Eve."

Eve melepaskan pelukannya. Ia pun duduk di sebelah Revin, dengan tangannya yang masih ia genggam.

"Ada apa?" tanyanya lembut.

"Aku udah kacau, Eve. Aku gatau lagi harus gimana." Revin mengusap wajahnya dengan gusar.

"Iya gue tau. Tapi sebenarnya masalah lo itu apa? Gue gabisa bantu kalo gue gatau masalah lo."

Revin menghela napas panjang, "2 hari yang lalu, aku pulang ke rumah. Nyokap cerita kalo kamu sama Diana dateng ke rumah. Jujur, aku seneng banget kamu peduli sama aku. Dan kamu juga pasti udah tau dari mama kan tentang aku gapulang beberapa hari. Itu sebenarnya ada alasannya." Revin memberi jeda.

"Papaku berkali-kali dateng ke rumahku buat minta hak asuh aku dan kakakku. Mama juga udah beberapa kali bujuk kami biar salah satu diantara kami ada yang mau ikut papa, tapi kami berdua gamau tinggal sama bajingan itu." Revin mendengus.

"Tunggu dulu, kenapa lo benci sama papa lo?" Eve menaikkan kedua alisnya.

"Ceritanya panjang. Singkatnya, papa selingkuh, dan dia juga ngehamilin pacar aku." Revin tersenyum pahit.

Eve menutup mulutnya, "Astaga."

"Kejadiannya udah 2 tahun yang lalu, tapi aku masih belum bisa lupain. Aku masih dendam sama dia, entah sampai kapan." Revin mengangkat kedua bahunya.

"Terus kemaren, papa dateng lagi ke rumah. Kali ini dia bawa pengacara. Dia ngancem aku, Eve. Kalo sampai diantara kami berdua gaada yang mau tinggal sama dia, dia bakal ambil saham dia dari perusahaan mama, dan itu bisa bikin mama bangkrut. Aku gabisa bayangin Eve, bakal kaya apa jadinya. Pas denger itu, aku langsung pergi dari rumah dan belom pulang sampai sekarang." Mata Revin kembali memanas.

Eve beringsut mendekat, ia meraih kepala Revin kedalam pelukannya. Membiarkan Revin menangis disana sepuasnya.

"Lo puasin dulu nangisnya, gue janji gaakan bilang siapa-siapa kalo lo pernah nangis kejer kaya gini." Eve terkekeh mencoba menghibur Revin. Tak ayal, Revin tersenyum dan menarik wajahnya menjauh.

Hello, Goodbye!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang