Kedua remaja itu duduk di bangku taman dibawah bintang malam. Saat ini sudah hampir pukul 3 malam dan mereka belum beranjak.
Eve masih terdiam dengan kepala yang bersandar di bahu Revin. Ia masih bungkam dan belum mengeluarkan sepatah katapun.
"Tadi kamu sama siapa kesini?" tanya Revin.
"Randy." jawab Eve singkat.
Revin menghela napas. Ia tahu bahwa gadis yang ada di sampingnya ini tengah terguncang. Namun ia tak sanggup untuk mendengar apa penyebabnya.
"Kenapa sih, Stevan gak pernah berhenti buat nyakitin gue?" ucap Eve akhirnya.
"Maybe he doesn't mean to." jawab Revin seadanya.
"Buat apa dia kembali kalo dia cuma mau nyakitin perasaan gue lagi dan lagi?" Eve kini mengangkat kepalanya dan menatap Revin lekat-lekat
"The hardest part of loving someone is to let go. Maybe you just have to let him go." Revin mengelus pipi Eve.
Eve tersenyum miris. Apa yang dikatakan Revin 100% benar. Apa lagi yang ia harapkan selama ini? Stevan kembali, bukan untuk membalas perasaannya. Ia kembali hanya untuk menebus kesalahannya.
"Selama ini, kamu terlarut dalam sugesti diri kamu sendiri. Kamu selalu beranggapan bahwa kamu cinta sama dia, padahal bukan itu yang kamu rasain sebenarnya. Kamu cuma takut kehilangan dia, takut kalau suatu saat dia bakal asyik dengan dunia dia tanpa mengajak kamu ke dalamnya. Cinta yang kamu rasakan ke dia itu udah di salah artikan sama kamu. Selama ini, kamu hanya takut untuk membebaskan dia. Membiarkan dia melangkah tanpa kamu disisinya." ujar Revin.
"Sekarang, coba kamu putar balikkan keadaan. Kalau seandainya dia bales perasaan kamu, apa kamu bisa jamin it will last forever? Engga kan? Kalo kamu pacaran sama dia, dan kamu berakhir putus sama dia, kamu bakal kehilangan 2 orang sekaligus. Pacar, dan juga sahabat kamu. Selama ini dia cuma jaga perasaan kamu because he feels the same way too." Revin mengelus puncak kepala Eve. "Try to think about it."
"Tapi kalo pada akhirnya gue harus kehilangan dia lagi gimana?"
"Mungkin itu yang terbaik."
Eve menghela napas panjang. Ia tak tahu apa lagi yang harus ia katakan. Pikirannya berusaha memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang ada meskipun pahit yang ia rasakan.
"Mau balik ke kamar Stevan atau pulang?" Revin bangkit dan mengulurkan tangannya mengajak Eve.
"Ke kamar Stevan dulu aja." Eve menyambut tangan Revin.
Revin membuka pintu kamar perawatan Stevan dengan Eve di belakangnya yang menggengam erat ujung jaketnya. Eve berusaha menyembunyikan wajahnya yang panas.
"Eve?"
Stevan memanggil nama Eve. Yang dipanggil hanya tersenyum tipis seraya masih mendekatkan tubuhnya ke tubuh Revin.
"Eve, gue bisa jelasin semuanya." kali ini Diana yang buka suara. Mendengarnya, lagi-lagi Eve hanya tersenyum tipis.
"Ngejelasin apa sih emangnya?" tanya Eve berusaha terdengar santai. Kini ia duduk di tepi tempat tidur Stevan.
Mata Diana terasa panas. Ia tak kuasa untuk mengucapkannya. Lidahnya terasa kelu.
"Gue...sama Stevan..." suaranya terdengar serak.
"Kalian jadian?" tanya Eve dengan lembut.
"Gak kaya gitu, Eve. Maksud aku.." Stevan berusaha bangkit dari tidurnya untuk mendekati Eve, namun Eve menahannya.
"You don't need to feel sorry at all. Aku bakal ngerasa seneng kalo kamu juga seneng." Eve mengusap pipi Stevan.
Stevan memejamkan matanya. Ia menghela napas dengan gusar. Ia tak menyangka akan sesulit ini rasanya untuk menyampaikan semuanya.