Hari ini adalah hari pertama Eve kembali ke sekolah setelah 1 bulan libur kenaikan kelas. Ia resmi menjadi siswi kelas 12 dan ia belum tahu ia akan duduk di kelas apa.Eve berjalan menuju mading di sudut koridor untuk memastikan namanya tertera di kelas berapa, dan ia menemukan namanya di kelas 12 IPS 2. Ia menelusuri nama-nama siswa yang akan menjadi teman terakhirnya di bangku SMA.
Ia menemukan nama Stevan disana. Eve menghela napas dengan susah payah. 2 hari yang lalu, Stevan telah berangkat ke Jerman. Setidaknya ada sedikit rasa lega di dadanya bahwa Stevan akan ditangani dengan baik disana. Namun masih ada sebagian rasa sesak karena ia masih tak tahu kapan ia bisa melihat Stevan lagi.
Eve melangkahkan kakinya gontai menuju kelasnya. 1 tahun sekelas bersama Stevan sepertinya akan terasa cukup berat mengingat perasaannya pada laki-laki itu belum berubah sedikitpun. Meskipun ia telah bersiap untuk kemungkinan terburuk.
Eve memilih bangku deret kedua dari pintu masuk dan langsung mendudukkan dirinya disana. Bangku di sebelahnya masih kosong dan mungkin nanti Stevan yang akan mengisinya.
"Eve?"
Sebuah suara membuyarkan lamunan Eve. Ia mendongak untuk melihat siapa yang memanggil namanya, namun perasaannya langsung berubah saat melihat orang tersebut adalah Diana.
"Ada apa?" tanya Eve berusaha untuk terdengar santai.
"Gue mau ngomong sebentar boleh?" tanya Diana hati-hati.
"Ngomong aja."
"Diluar bisa?" Eve mengangguk.
Mereka kini tengah berdiri di balkon depan kelas Eve. Diana tak kunjung buka suara, mungkin ia sedang memperkirakan apa yang akan dikatakannya.
"Eve, sebelumnya gue mau minta maaf sama lo. Buat semuanya." ujarnya pada akhirnya.
"Gue cuma mau jelasin semuanya ke lo kalo ini gak seperti yang lo kira. Gue dan Stevan sama sekali ga ada hubungan apa-apa. Kita cuma temenan biasa, gak lebih." jelas Diana.
Wajah Eve mendadak kaku saat mendengar nama Stevan disebut. Ia tak mengira hanya dengan mendengar namanya saja, perasaannya bisa kembali berubah.
"Gue cuma mau lo tau, kalo sebenernya selama ini Stevan selalu cerita sama gue tentang lo. Dia ngerasa akhir-akhir ini lo berubah. Lo jarang ada waktu buat dia, lo selalu nolak setiap dia ajak pulang bareng, lo berubah, Eve." Eve sedikit tersentak mendengarnya.
Diana melanjutkan, "Lo pasti tau kan dia gapunya banyak temen disini. Dan mungkin menurut dia, gue bisa dipercaya buat nyimpen semua ini. Lo beruntung punya sahabat kayak dia. Rasanya dia bakal masuk ke dalam list cowok idaman gue deh." Diana tertawa hambar.
"Berarti selama ini kalian gaada-"
"Enggalah." Diana langsung memotongnya. "Pada awalnya sih gue emang niat pengen kenal lebih deket sama dia. Kita sering chatting, tapi lama kelamaan niat awal gue tiba-tiba hilang. Dan dia juga selalu ngejadiin lo sebagai topik pembicaraan kita. Yaudah gaada yang lebih."
Eve tertunduk. Selama ini ia telah salah paham dan sangat fatal kepada kedua sahabatnya. Bisa-bisanya ia berpikir sangat dangkal kala itu? Ia tak habis pikir.
"Emang sebenernya apa sih yang bikin lo berubah?" tanya Diana.
"Hah?"
"Iya, gue juga ngerasain kok apa yang Stevan rasain. Akhir-akhir ini lo agak berubah. Emang ada apa sih kalo boleh tau?" Diana bertanya dengan hati-hati karena ia takut Eve masih sedikit marah padanya.
Eve baru teringat bahwa Diana pun belum ia beri tahu perihal hubungannya dengan Farrel. Dan ia juga tak bisa membayangkan apa reaksi yang akan diluapkan okeh Diana.