Hai
Sudah lama ya, tak bertemu?
Sejak tulisanku yang terakhir, aku tak merasakan adanya perubahan yang berarti di hidupku. Malahan semuanya terasa lebih sulit dari sebelumnya.
Ya, saat ini aku telah resmi berpacaran dengan kak Farrel. Yeay? Entahlah. Kenyataannya tidak sesuai ekspetasiku. Aku berharap aku akan bereaksi luar biasa jika aku bisa menjadi pacar kak Farrel. Namun saat itu semua sudah terwujud, tak ada reaksi apapun yang keluar dari diriku. Aneh memang. Malahan aku terkesan menyembunyikan hal ini dari semua orang. Bahkan kakak dan sahabatku sendii pun tidak mengetahuinya.
Dan lagi, kehadiran Stevan disisiku tak membuatku mengurangi rasa sayangku padanya. Aku semakin menyayanginya, entah masih dalam batas yang wajar sebagai sahabat atau batas terliar sekalipun. Aku tak ingin menghancurkan persahabatanku dengannya, meskipun dia tak pernah sekalipun membalas perasaanku.
Seperti belum genap masalahku, aku masih harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa Revin kerap kali membuatku merasa bersalah. Aku tahu bahwa hubungan ''pacar pura-pura' ku dengannya sudah berakhir. Namun aku tidak bisa begitu saja pergi menjauhinya. Aku terlalu nyaman berada di dekatnya.
Entahlah, aku merasa ini adalah sebuah kesialan. Aku tak suka bila harus bertindak seraya berpikir apakah tindakanku akan menyakiti orang lain. Aku merindukan kehidupanku yang dulu, dimana hanya aku saja yang merasa tersakiti, bukan yang lain.
Jakarta, 17 April 2015
Masih diwaktu yang sama*****
Farrel tak bisa memejamkan matanya. Sekarang sudah hampir jam 2 pagi, namun Revin tak kunjung pulang. Ia tahu persis adiknya itu tidak pernah pulang larut malam. Bahkan, ia termasuk 'anak rumahan'
Farrel merasa ada yang aneh. Mamanya pun sampai berniat melapor polisi, namun segera ditahannya karena entah darimana datang perasaan yang mengatakan bahwa Revin saat ini baik-baik saja. Namun ia tak tahu dimana dan apa gerangan yang sedang dilakukan adik semata wayangnya itu.
Saat ini Farrel masih menunggu kedatangan adiknya di ruang tengah. Ia telah berhasil menyuruh mamanya untuk tidur di kamar meskipun pada awalnya mamanya bersikukuh untuk menunggu Revin bersamanya.
Kriek
Suara pintu terbuka perlahan. Farrel yang baru saja hendak memejamkan matanya, kini terlonjak kaget. Ia melihat sosok adiknya kini tengah berdiri di ambang pintu dengan kondisi yang sangat berantakan.
"Dek, kamu darimana aja?" Farrel langsung menghampiri Revin dan mengguncang bahunya.
Bukannya menjawab, Revin hanya menatap kosong ke depan. Bahkan tak sekalipun menatap Farrel. Jiwanya seperti terlepas dari raganya.
"Dek?"
Farrel mendekat kearah Revin untuk menepuk pipinya. Namun, ia malah mencium bau aneh yang keluar dari tubuh adiknya. Seperti campuran antara bau alkohol dan asap rokok.
"Dek, kamu minum ya?" Farrel memukul kedua pipi Revin.
"Hueeekk.."
Revin muntah persis di baju Farrel, lalu ia kehilangan kesadarannya. Farrel langsung membopong adiknya ke sofa ruang tengah dan menidurkannya disana.
"Kamu itu kenapa sih? Ini bukan kamu banget tau gak." gumam Farrel seraya membuka sepatu dan baju seragam Revin. Ia menggantinya dengan kaus dan celana pendek setelah sebelumnya ia mengoleskan minyak kayu putih di hidung dan leher Revin.
Setelah Farrel juga mengganti bajunya, ia duduk persis di hadapan Revin yang kini tengah tertidur dengan nafas yang teratur. Ia merasa ada yang berubah dari adiknya. Sudah beberapa hari ini, adiknya kerap pulang larut malam, meskipun tidak sampai semalam ini. Namun, Revin yang dulu tidak pernah pulang ke rumah lewat dari jam 6 sore.