"Mau pulang sekarang?" tanya Farrel saat mereka berdua telah menandaskan makan siang mereka.
"Iya deh. Aku masih harus ngerjain proposal pengajuan sponsor pensi nih, kak." jawab Eve seraya melirik jam tangannya. Sudah pukul 2 siang. Tak terasa, waktu cepat berlalu.
"Ck, dasar ketua osis rempong." Farrel mengacak rambut Eve dan membuat gadis itu mencibir.
Mereka keluar dari cafe dengan masih diiringi obrolan ringan. Sepertinya Eve dan Farrel sudah menemukan kecocokan diantara mereka yang membuat mereka akhirnya merasa nyaman mengobrol satu sama lain.
Mereka berjalan lumayan jauh. Dibawah teriknya matahari siang ini, akhirnya membuat mereka lebih memilih diam untuk menghemat energi. Kini mereka tengah diselimuti keheningan dengan peluh mereka yang kian menetes.
"Kak." Eve memecah kesunyian. Farrel menoleh.
"Yap?"
"Kenapa sih kakak dingin banget kalo disekolah?" Eve bertanya dengan hati-hati. Takut menyinggung perasaan Farrel.
"Ehm. Aku cuma ganyaman aja sama cewek-cewek disekolah yang terlalu cari perhatian. Aku gamau kalo aku terlalu terbuka sama mereka, mereka jadi mikir yang macem-macem." ujar Farrel seraya mengangkat bahunya.
"Tapi kok kakak mau deket-deket sama aku?" Eve kembali bertanya.
"Karena kamu beda." Farrel terkekeh pelan sambil mengacak rambut Eve lagi.
Eve merasakan aliran darahnya berdesir saat merasakan sentuhan yang lagi-lagi diberikan Farrel. Degup jantungnya berdetak 2 kali lebih cepat dari biasanya. Sepertinya, berada lebih lama di dekat Farrel bisa membuat Eve sakit jantung.
"Kok diem?" Farrel memecah lamunan Eve.
"Hah? Eh..engga kok." Eve menggaruk tengkuknya.
"Kamu lucu ya, setiap lagi gugup pasti garuk tengkuk." Farrel terkekeh dan membuat pipi Eve yang memang sudah memerah karena panas matahari semakin bersemu merah.
Sepanjang jalan, Eve hanya menunduk sambil sesekali menimpali perkataan Farrel yang lebih mendominasi pembicaraan. Entah mengapa, kemampuan berbicara Eve di depan umum seketika sirna saat berada di dekat Farrel. Ia menjadi orang yang kikuk setiap kali Farrel melontarkan kata-kata pujian ataupun godaan kepadanya.
"Dddrrtt"
Ponsel Eve bergetar. Ia segera merogoh saku bajunya dan mengambil benda kecil berwarna putih itu.
"Halo?" ucap Eve tanpa melihat siapa yang menelepon.
"Eve, lo dimana? Lo bolos ya hari ini? Masa cuma gara-gara gue tinggal berangkat duluan lo sampe harus bolos gini, sih?" teriakan di seberang sana membuat Eve sampai harus menjauhkan ponselnya dari telinganya. Tanpa perlu melihat nama yang tertera di layar, ia sudah tahu siapa yang sedang memakinya.
"Apa peduli lo sama gue?" jawab Eve ketus.
"Ya pedulilah. Gue kan kakak lo." sahut suara di seberang sana yang membuat Eve langsung mencibir.
"Cih, mana ada kakak yang ninggalin adeknya gitu aja?" Eve melirik Farrel yang kini tengah tersenyum geli.
"Yaudah deh, maaf. Sekarang lo dimana? Udah sampe rumah?" nada suara Ervan terdengar khawatir.
"Belom. Masih di jalan mau pulang." jawab Eve sekenanya.
"Hah?! Lo naik apa? Sama siapa? Darimana? Sekarang lo udah dimana? Gue jemput ya?" Ervan bertanya dengan runtut tanpa memberi sedikitpun jeda.
"Gausah sok khawatir. Gue jalan kaki, sama kak Farrel, abis makan siang, di jalan Anyelir. Puas?" Eve menjawab semua pertanyaan Ervan secara urut.
"Yaudah. Lo sama Farrel tunggu disana. Jangan kemana-mana. 10 menit lagi gue nyampe." Ervan segera menyudahi pembicaraan.