"Hai, Stev."
Hanya itu yang keluar dari mulut Eve. Ia tak mampu lagi berkata-kata. Dihadapannya kini ada seseorang yang sudah 2 tahun terakhir ini ia rindukan. Sosok yang seolah menghilang ditelan bumi.
"Kenapa sih Eve? Kamu bengong terus daritadi. Kamu gak kangen sama aku?" Stevan mendekatkan tubuhnya ke arah Eve.
"Stop. right .there." Eve mundur selangkah dan ia memberi penekanan pada setiap kata-katanya.
"Why? Aku kangen banget sama kamu, Eve." Stevan kembali maju selangkah.
"Berhenti, Stev." Eve kembali mundur satu langkah.
"Tell me why." Stevan menuntut penjelasan dari Eve.
"Kamu masih nanya kenapa? Apa kamu gapernah mikirin perasaan aku selama ini, Stev? Kamu tau betapa tersiksanya aku selama 2 tahun kamu tinggalin, hah? Apa kamu tahu rasanya gak punya tempat berbagi lagi? Kamu tau kan kalau kamu sahabat aku satu-satunya, Stev. Kamu tinggalin aku tanpa pesan apapun, kamu pikir aku gak sakit hati?" Eve berkata panjang lebar sambil berusaha menahan emosinya. Ia tak ingin mengeluarkan airmata lagi untuk laki-laki ini. Airmatanya seakan sudah habis terkuras untuknya.
"Ma..maafin aku, Eve. Aku gak sengaja ninggalin kamu." Stevan tampak gugup menjelaskannya.
"GAK SENGAJA?! Kamu bilang gak sengaja?! Kamu pikir aku ini apa, Stev? Batu? Udahlah, aku capek. Kamu gak usah dateng kesini lagi. Anggap aja kita gak pernah kenal ataupun ketemu sebelumnya." Eve mengibaskan tangannya di udara, dan berlari meninggalkan Stevan yang masih termangu menatap kepergiannya.
"Ternyata kamu memang bener-bener marah sama aku, Eve." Stevan menggumam pelan.
Eve sampai di kamarnya. Ia melemparkan tubuhnya ke atas tempat tidurnya dan memejamkan matanya perlahan.
"Gak gue sangka gue masih belum bisa lupain lo, Stev."
flashback
"Stev, aku mau kamu janji sama aku." ucap seorang gadis kepada sahabat laki-lakinya.
"Janji apa?" anak laki-laki itu bertanya kepada sang gadis.
"Kamu harus janji kalo kamu gak bakal tinggalin aku, apapun keadaannya. Kita harus terus bareng bahkan sampe kita udah dapet jodoh masing-masing." gadis itu menatap menerawang ke depan seraya tersenyum tipis.
"Okay." anak laki-laki itu mengacungkan jari kelingkingnya.
"Okay." sang gadis akhirnya menautkan jari kelingkingnya.
Hari itu, mereka membuat ikrar untuk saling tak meninggalkan satu sama lain. Kedua sahabat yang memang selalu bersama bahkan sejak mereka lahir itu pun menjalani sisa hari dengan penuh tawa. Tanpa tahu apa yang akan menimpa mereka keesokan harinya.
Pagi itu, Evelyne berlari ke arah rumah di sebelahnya. Ia mengetuk pintu rumah tersebut seraya memanggil nama pemiliknya.
"Stevaan! Stevaaaan!" gadis tersebut meneriakkan nama sahabatnya berkali-kali. Namun tidak ada jawaban darinya.
"Stevann" kali ini Evelyne mengeraskan suaranya.
Namun hasilnya nihil. Ia tetap tak menemukan jawaban apapun. Ia menoleh ke sekeliling rumah tersebut. Tampak sepi, seperti ditinggalkan oleh si pemiliknya.
"Stevan kemana sih?" dahi Eve berkerut. Ia mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Stevan.
"Maaf nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi, cobalah beberapa saat lagi." hanya suara itu yang terdengar saat Eve mencoba menelepon Stevan.
Evelyne akhirnya menyerah dan meninggalkan rumah Stevan. Mungkin sahabatnya itu sedang ada urusan mendadak dan tak bisa diganggu.
Saat ia baru saja akan melangkahkan kakinya, ia melihat sesuatu tersembul di kotak surat rumah Stevan. Evelyne akhirnya mengambilnya dan perlahan membaca isinya.
Ternyata itu surat dari Stevan.
Dear, Eve.
Aku pergi, jauh. Dan aku harap kamu mau nunggu aku pulang.
Your bestie,
Stevan A.
Tanpa berkata-kata lagi, Eve berlari pulang ke rumahnya. Ia tak bisa berpikir jernih untuk saat ini. Ia tak siap menerima kepergian Stevan yang begitu mendadak, apalagi tanpa memberitahunya sama sekali. Ia merasa dikecewakan. Ia merasa Stevan telah ingkar pada janjinya kemarin. Ia terlalu marah, marah kepada sahabatnya.
Hingga secara tak sadar, airmata mengalir deras dari mata Evelyne.
Eve menyadarkan dirinya dari lamunan masa lalunya. Bahkan kepergian Stevan pun masih terekam jelas di benaknya. Dan kini, sahabatnya itu kembali lagi dengan mudahnya, tanpa mempedulikan bagaimana kecewa nya Evelyne pada waktu itu.
*****
"Evee, cepetaan! Gue kesiangan nihh!" Ervan berteriak dari bawah, memanggil adiknya.
"Iya, Van. Bentar lagii." Eve dengan terburu-buru mengambil tas sekolahnya dan berlari ke bawah.
Pagi ini ia memang bangun kesiangan karena ia begadang untuk mengerjakan tugas-tugas proposal yang diembannya sebagai ketua osis di sekolahnya.
"Lama banget sih! Kaya putri solo, tau gak." Ervan menggerutu begitu Evelyne sampai di bawah.
"Sorry, hehe." Evelyne hanya terkekeh.
Mereka berangkat bersama menuju sekolahnya. Ya, Ervan Diandra Suprapto dan Evelyne Diora Suprapto. Kakak beradik yang kini bersekolah di SMA Pelita Harapan, Jakarta. Ervan adalah siswa kelas 12 dan Evelyne adalah siswi kelas 11. Ervan adalah seorang anak yang bisa dibilang sangat pandai dan tergolong eksis. Berbeda dengan Evelyne yang agak tertutup, dingin dan tidak begitu pandai, meskipun ia adalah seorang ketua osis. Mungkin yang menjadikannya seperti itu adalah kemampuannya untuk berbicara di depan umum.
Mobil Ervan berhenti di tempat parkir. Eve langsung turun dari mobil dan berjalan lebih dulu mendahului Ervan. Yang ditinggal hanya bisa menggelengkan kepalanya, sudah hapal akan kebiasaan sang adik.
"Hai, Eve."
"Pagi, Eve."
"How's your weekend, Evelyne?"
"Apa kabar, Eve?"
Semua pertanyaan ataupun sapaan dari beberapa temannya hanya dijawab Evelyne dengan senyum tipisnya. Ia bahkan merasa terlalu malas untuk membalas semua sapaan itu.
"Hello, Eve."
Sebuah suara yang terdengar berat kini mencegat Evelyne tepat di tengah koridor. Eve yang semula menunduk karena harus membereskan berkas-berkas di tangannya, kini akhirnya mendongak. Ia terkejut.
"Kamu?"
******
Yeah, akhirnya chapter 2 bisa menyusul dengan kilaaat. Semoga readersnya semakin bertambah dan semoga kalian suka yaaa. Vote+comment jangan lupaaaa!