Eve menghirup segelas kopi hangat yang baru saja ia beli dari sebuah mesin penjual kopi di ujung jalan. Ia menyesapnya perlahan sembari sesekali menghangatkan wajahnya dengan uap kopi tersebut.
Saat ini bulan November, salju sedang turun dengan kencangnya. Namun dengan nekat ia tetap duduk di bangku di depan sebuah gedung pusat perbelanjaan.
Matanya melirik jam tangan di lengan kirinya. Sudah hampir setengah jam ia menunggu disini, namun orang yang ditunggunya tak kunjung datang.
Sembari menunggu, ia merogoh tasnya. Dan tangannya menemukan sebuah buku jurnal berwarna hijau tosca yang warnanya sudah mulai pudar. Ia baru teringat bahwa selama ini jurnal tersebut selalu ia bawa, meskipun sudah sangat lama tak pernah ia jamah isinya. Tangannya perlahan menelusuri buku tersebut. Seulas senyum terulas di bibirnya. Perlahan jari-jarinya membuka lembaran-lembaran buku tersebut hingga akhirnya sampai pada tulisan terakhir. Tulisan yang ia tulis 11 tahun yang lalu.
Namun sebuah amplop berwarna hijau meluncur bebas dari dalam buku tersebut. Eve lupa siapa yang memberi amplop tersebut sebab ia juga belum membaca isinya.
Perlahan ia membuka amplopnya dan mengeluarkan secarik surat yang kertasnya juga sudah mulai menguning. Lalu ia membuka lipatan surat tersebut dan mulai membacanya. Seulas senyum pun terukir di wajahnya.
Dear Evelyne,
Kalau kamu baca ini, mungkin pada saat itu kamu sudah tidak mencintai aku lagi, atau mungkin sudah mempunyai penggantiku.
Aku tahu, cepat atau lambat rasa cintamu padaku akan segera memudar. Begitupun aku. Waktu berjalan, dan pikiran orang pun berubah seiring dengan berjalannya waktu tersebut. Begitupun dengan hal perasaan.
Aku tidak pernah menyalahkan perasaan atas terjadinya hal tersebut. Semua itu adalah hukum alam. Kamu tak bisa menahannya ataupun mencegahnya.
Selama ini aku tahu bahwa aku tak pernah bisa memilikimu seutuhnya. Namun bukan berarti itu membuatku bisa dengan mudah melupakanmu. Ada kalanya hati ini merasa enggan untuk melakukannya. Tapi apa daya jika kamu sudah tidak merasakan hal yang sama.
Aku memang tak pandai merangkai kata. Aku hanya ingin membuatmu membuka mata, apakah kamu yakin terhadap cinta kita. Yang aku tahu, tak sedikitpun aku meragukan bahwa aku mencintaimu.
Perlu kamu tahu, sejauh apapun jarakmu denganku, doaku kan selalu menyertaimu.Semoga surat ini kamu baca di 5 atau 10 tahun yang akan datang.
Farrel A.
*****
"Can you wait for me a bit longer, sir? Yes I'm on my way."
Revin menutup teleponnya dan kembali konsentrasi mengemudikan mobilnya. Kini ia harus berpacu dengan waktu karena ada pertemuan yang harus ia hadiri 15 menit dari sekarang.
Ya, ia memang sedang menghadiri sebuah kunjungan bisnis di Prancis. Perusahaan yang sekarang sudah resmi dipimpinnya, akan mengadakan kerja sama besar dalam sebuah proyek dengan salah satu perusahaan ternama di Prancis.
Memang setelah lulus kuliah dan menyandang gelar dokter spesialis bedah, ia kembali meneruskan untuk memimpin perusahaan Papanya seraya membuka praktik di sebuah rumah sakit besar di Jogja.
Sesampainya di tempat pertemuan, Revin langsung memarkir mobilnya dan langsung memasuki gedung. Disana sudah banyak kolega bisnis nya berkumpul di sebuah ruangan. Pada hari itu, Revin yang akan memimpin rapat.
Rapat selesai 3 jam kemudian. Satu persatu rekan bisnis Revin mulai meninggalkan ruangan, menyisakan dirinya seorang diri. Ia mengeluarkan ponselnya yang kini akhirnya bisa berhenti berdering.