Farrel Aditya: pesenku udah disampein belum sama Revin?
Farrel memang sudah mengutus adiknya untuk menyampaikan pesannya. Ia tidak tahu mengapa ia tidak bisa mengatakannya langsung.
Evelyne Diora S: udah kok
Evelyne Diora S: maaf ya aku baru sempet ngabarin kamu
Evelyne Diora S: nanti malem mau skype?Farrel mendecakkan lidahnya. Kenapa Eve harus mengajaknya skype disaat suasana hatinya sedang seperti ini? Ia tahu pasti ia tidak bisa menolaknya. Padahal ia sudah menahan rasa kesalnya sejak ia sampai di Jakarta dan bagaimanapun, Farrel tak ingin Eve tahu apa yang sedang ia rasakan saat ini.
Farrel Aditya: okay
Ia melempar ponselnya sembarang, lalu menghempaskan tubuhnya sendiri ke atas kasur. Ia memejamkan matanya. Ia akan kembali ke Belanda 3 hari lagi, karena cuti yang diberikan oleh tempat kerjanya hanya 10 hari. Ia tahu ia tidak boleh mengecewakan majikannya apabila ia masih ingin bekerja disana.
Kepulangannya ke Indonesia justru membuatnya semakin penat. Belum hilang bayang-bayang Eve yang tidak menghubunginya sama sekali, ada lagi masalah baru.
Kedatangan papanya semalam adalah untuk membicarakan hal ini. Perusahaan papanya yang ada di Jakarta sedang butuh perhatian khusus dikarenakan terjadinya pembengkakan pengeluaran, sehingga perusahaan yang ada di Jogja menjadi sedikit terbengkalai. Papanya meminta bantuan Farrel untuk membantunya mengurusi perusahaannya di Jogja, namun dengan halus Farrel menolaknya. Bukan karena ia tak mau, tapi karena ia tak bisa meninggalkan kuliahnya di Belanda begitu saja. Meskipun di perusahaan papanya kedudukannya sudah terjamin sebagai direktur, namun tetap saja kuliah di Belanda adalah impiannya yang sesungguhnya.
"Papa kan tau sendiri aku gabisa ninggalin kuliahku. Apalagi aku belum setahun disana. Masih ada 3 tahun lagi yang harus aku kejar." jawab Farrel saat mendengar tawaran papanya.
"Papa gak minta kamu buat ninggalin kuliah selamanya, Rel. Papa cuma minta kamu cuti setahun untuk membantu mengawasi perusahaan papa. Biar bagaimanapun juga, papa jauh lebih percaya perusahaan papa dipegang anak papa sendiri." ujar papanya.
Farrel menggeleng pelan, "Tetep aja aku gabisa, pa. Kuliah di Belanda itu impian aku dari dulu. Dan Tuhan udah kasih aku kesempatan untuk kuliah disana secara gratis, dan aku gamau nyia-nyiain kesempatan gitu aja."
Papanya menghela napas panjang. Ia tahu ia tidak bisa memaksakan kehendak anaknya. Ia juga tahu bahwa Farrel sudah memimpikan untuk kuliah di luar negri sejak duduk di bangku sekolah dasar.
"Kenapa papa gak coba tanya Revin aja?" ujar Farrel tiba-tiba.
Papanya langsung menoleh ke arah Farrel, "Maksud kamu?"
"Iya." Farrel mengangguk. "Papa coba tawarin Revin aja. Biar bagaimanapun Revin kan anak papa juga. Seenggaknya dia berhak untuk dapet kesempatan ini juga pa, bukan cuma aku."
Mendengarnya, papanya terdiam. Ia sadar bahwa hubungannya dengan Revin sama sekali belum membaik. Meskipun Revin sudah tidak memperlakukannya dengan buruk lagi, namun tetap saja tatapan anak itu masih dingin padanya.
"Tapi, kamu yakin Revin mau bicara sama papa?" tanya papanya ragu-ragu.
Farrel mengangguk, "Aku yakin. Dia cuma butuh waktu aja, kok."
Tak lama kemudian, deru motor Revin terdengar di depan rumah. Farrel melirik jam dinding di depannya, sudah pukul 7:15.
"Dari mana kamu?" tanyanya segera setelah Revin memunculkan batang hidungnya di ambang pintu.