"Tau gak?" tanya Stevan.
"Enggak." Eve menjawab.
"Sama, aku juga gak tau. Hahahaha." tawa Stevan menggema di sepanjang koridor.
Eve memukul lengan Stevan, "Apaan sih, Stev. Jayus banget tau gak?!"
"Udah tau jayus masih aja mau deket-deket." Stevan meledek Eve yang kini tengah mencibir.
"Terpaksa."
Stevan mengerling jahil, "Beneran nih? Nanti kalo aku pergi lagi jangan nangis ya."
"Apaan sih galucuu!!" Eve berlari mengejar Stevan yang kini sudah 10 meter berada di depannya.
Eve baru saja sampai di kelasnya sebelum ada yang menahan lengannya.
"Eh, ada apa kak Farrel?"
Farrel yang ditanya seperti itu berubah menjadi kikuk, "Eh--eng-enggak papa. Aku cuma mau....minta maaf."
"Minta maaf? Untuk apa?" Eve mengangkat sebelah alisnya.
"Untuk kejadian beberapa hari lalu. Aku gak tau apa yang ada di pikiran aku sampe aku tiba-tiba ngomong kaya gitu. Gausah dipikirin ya, Eve. Anggep aja gapernah terjadi apa-apa."
Eve menghela napas panjang. Ia tak menyangka Farrel masih mengungkit masalah ini. Ia merasa serba salah. Di satu sisi, ia ingin sekali mengatakan bahwa selama ini ia juga menyayangi Farrel. Namun di sisi lain, keberadaan Stevan dan Revin di hidupnya membuatnya enggan mengatakan yang sebenarnya.
"Kakak masih butuh jawaban aku gak?" tanya Eve pada akhirnya.
Mata Farrel membulat, "Hah? Maksud kamu?"
"Iya, kakak masih mau denger jawaban aku atas pertanyaan kakak tempo hari gak?" tanya Eve sekali lagi. Farrel mengangguk cepat.
"Aku juga suka sama kakak." jawab Eve cepat seraya berjalan melewati Farrel dan masuk ke kelasnya dengan cepat.
*****
Bel istirahat baru saja berbunyi saat Eve merasakan ponselnya bergetar. Ia membukanya, dan mendapati sebuah pesan disana.
Stevan A: jangan sampe gak makan!!
Eve tersenyum membacanya. Sikap overprotektif Stevan akhirnya muncul kembali. Dan tanpa sadar, Eve memang sudah sangat merindukannya.
Evelyne Diora S: iye bawel
Tak sampai 10 detik, balasan sudah masuk.
Stevan A: aku tunggu dikantin sekarang
Eve tak membalasnya dan memilih memasukkan ponselnya ke saku bajunya. Ia pun beranjak dari kursinya.
"Eh mau kemana?" Diana yang sedari tadi asyik memainkan games di ponselnya pun akhirnya 'sadar' akan kehadiran Eve.
"Kantin, kenapa?"
"Ikut dong!" Diana memasukkan ponselnya ke dalam saku dan turut bangkit mengikuti Eve.
Eve memutar bola matanya, "Ck, dasar. Ayo."
Mereka berdua berjalan menuju kantin. Sesekali mereka tertawa membicarakan hal yang tak penting. Namun, semenjak percakapan terakhir mereka tentang Farrel tempo hari, Diana tidak pernah menyinggung tentang hal itu sama sekali. Ia mengerti apa yang dialami oleh sahabatnya itu dan ia lebih memilih menunggu Eve untuk menceritakan semuanya pada saat yang tepat nanti.
Eve melambai kearah meja di sudut kantin. Diana memicingkan matanya untuk melihat siapa orang yang berada di meja tersebut. Disana ada seorang anak lelaki bertubuh kurus berambut coklat yang telah duduk disana. Diana tidak mengenalinya.