Chapter 4

2.1K 122 1
                                    

Evelyne terus terbayang-bayang oleh perkataan Diana saat di kantin tadi. Tak tahu mengapa, ia merasa sedikit 'terganggu' dengannya. Entahlah, mungkin itu hanya perasaannya.

"Eve, mau pulang?" seseorang tiba-tiba berjalan menyamai langkahnya. Ia menoleh dan mendapati sebuah senyum lebar.

"Menurut lo?" ucap Eve ketus sambil terus berjalan.

"Aku anterin ya?" sosok itu tetap tak bergeming dari posisinya.

"Gausah, makasih." Eve mempercepat langkahnya, membuat sosok itu akhirnya mencekal lengannya.

"Kamu kenapa sih, Eve? Aku udah minta maaf, apa itu masih belum cukup? Aku harus gimana supaya kamu mau maafin aku?" Eve menghela napas panjang.

"Udahlah, Stev. Aku capek. Kamu gausah sok peduli lagi sama aku, aku gak butuh." Eve berusaha menarik lengannya.

"Aku gaakan lepasin kamu sebelum kamu mau maafin aku." Stevan tetap mencengkeram lengan Eve. Eve akhirnya menyerah.

"Dengerin aku, ya. Kamu mau tau apa yang bikin aku susah maafin kamu?" Eve memberi jeda pada perkataannya, dan membuat Stevan diam membeku mendengarkannya.

"Aku kecewa sama kamu, Stev. Mana janji kamu? Mana janji kita? Aku selalu berusaha untuk tetap disana, nunggu kabar dari kamu. Tapi apa? Apa yang aku dapet? Kamu 2 tahun ngilang tanpa kabar, dan disaat aku udah sampe di titik jenuh aku nunggu kamu, kamu balik lagi dan minta maaf gitu aja tanpa pernah sadar apa kesalahan kamu sebenernya. Gak gampang, Stev. Gak gampang buat ngehilangin rasa kecewa itu. Aku sayang sama kamu, selalu. Tapi, kamu yang udah bikin rasa sayang itu kalah sama rasa kecewa dan marah. Dan kamu harus tau itu resiko yang pada akhirnya kamu dapet." Eve menarik tangannya dalam sekali hentakan dan meninggalkan Stevan yang masih terpaku menatap kepergiannya.

Eve berjalan keluar sekolah dengan tangan terkepal di samping tubuhnya. Lagi-lagi, ia berusaha menahan emosi nya yang kian membuncah. Bukan, bukan karena marah. Namun, karena ia bingung dengan sikapnya. Perlakuannya tadi kepada Stevan seolah mencerminkan bahwa ia sangat membenci laki-laki itu, berbanding terbalik dengan hatinya yang sebenarnya sudah sangat merindukan Stevan.

"Maafin aku, Stev." ucap Eve pada akhirnya, bersamaan dengan jatuhnya bulir-bulir dari matanya.

****

Hari ini adalah hari ke 1012 aku mencintainya. Tak pernah berkurang sedikitpun. Berbagai cara telah kulakukan untuk melupakannya, sampai-sampai dengan gencarnya aku mencari perhatian pada kakak kelas idolaku. Tapi, tetap saja. Usaha itu seolah sia-sia. Aku tetap mencintainya, dengan kebodohanku. Meskipun, perhatianku kini sudah sedikit teralihkan oleh pesona kakak kelasku itu, hatiku masih tertinggal padanya. 2 tahun ditinggalkannya, tak membuatku bisa dengan mudah melupakannya. Aku memang telah dikecewakan olehnya, dan membuatku sedikit sulit untuk memaafkannya. Namun aku tak pernah bisa membencinya. Tak akan pernah bisa.

Hari ini dia meminta maaf lagi padaku, hatiku sedikit luluh karenanya. Namun aku terlalu gengsi untuk mengutarakan semuanya. Menatapnya saja sudah membuatku hilang akal. Ingin sekali aku memeluk tubuh kurusnya yang sudah sangat kurindukan. Ingin aku mencium aroma parfum nya yang selalu menjadi favoritku. Ingin aku merasakan belaian tangannya di puncak kepalaku lagi. Namun apa daya. Sekali lagi, aku terlalu gengsi.

Kurasa, sudah cukup penantianku selama ini. Waktu 14 tahun yang dulu pernah kuhabiskan bersamanya, kurasa sudah cukup. Aku ingin berusaha melupakannya, meskipun ku yakin itu akan sangat sulit untuk kulakukan. But life must go on. Untuk apa aku terus menerus mempertahanlan cinta sebelah tangan ini? Aku tahu sejak dulu pun ia tak pernah membalas perasaanku, dan aku pun tak pernah menuntut itu. Selalu berada di sampingnya pun, aku sudah merasa seolah dunia ada dalam genggamanku.

Hello, Goodbye!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang