4. Hidup Baru

141K 10.6K 328
                                    

"I can't control my feelings, but I hate how my feelings can control me."

***
OCHA

Aku diam. Berpikir banyak hal. Rasanya aku mau mati saja namun pemikiran itu segera aku hilangkan. Rasanya seluruh jengkal badannku kaku. Aku mengembuskan napas pelan sambil menatap diriku sendiri di depan cermin yang begitu besar dan nyata di hadapanku. Seorang gadis sudah berias dengan balutan kebaya berwarna putih bersinar dan di rancangan oleh perancang ternama.

Hari ini aku menikah dengan kak Rama. Secepat itu waktu berjalan. Seharusnya aku senang karena aku menikah dengan orang yang aku cintai tetapi perasaan itu menguap begitu saja.

Aku tidak tau apakah aku berhasil dalam ujian hidup ini, tetapi aku harus mencobanya untuk melanjutkan hidupku. Setidaknya, sedikit demi sedikit, meskipun aku sebenarnya tidak sanggup.

"Ocha," itu suara Tante Ajeng. Aku menoleh ke arahnya yang mendekat dan duduk di sebelahku–tepatnya di sisi ranjang. Dia tersenyum lembut dengan balutan baju kebaya. Aku hanya menatapnya bahkan kini aku tidak bisa tersenyum. Seulas senyum tipisku kuberikan untuknya yang terlihat sangat terpaksa.

Tante Ajeng menggenggam sebelah tanganku dan senyumannya sangat sendu. Aku bahkan sempat membayangkan bahwa Tante Ajeng adalah Bundaku yang dulu selalu berada di sisiku saat aku mengalami kesusahan. Saat aku merengek dan saat aku manja. Hal-hal yang sudah tidak bisa kuulang karena takdir.

Tante Ajeng menatapku sambil menarik napasnya dalam-dalam. Mungkin bukan aku saja yang terlihat punya beban berat karena pernikahan ini tetapi ia juga.

"Cha, Tante ingin kamu sabar ya. Sabar buat menghadapi Rama. Rama sifatnya memang begitu. Tetapi percayalah cinta bisa tumbuh saat kalian bersama," ucapnya.

"Bunda kamu pasti bahagia di sana karena anaknya yang cantik sekarang udah mau nikah. Bunda kamu bukan tanpa alasan menyuruh kamu menikah dengan Rama. Dulu Rama sendiri lah yang berjanji akan menjadikan kamu bagian dari hidupnya kepada Tante dan Bunda kamu sejak dia masih kecil, tapi akibat kecelakaan mobil 7 tahun yang silam, dia kehilangan semua ingatannya dan ia menjadi Rama yang baru, bahkan dia tidak ingat dengan Om dan Tante," ucap Tante Ajeng membuatku terkejut.

Hilang ingatan?

Kak Rama?

Si arogan itu?

"Kak Rama," aku memberi jeda pada ucapanku, "Ka Rama amnesia?" tanyaku. Tante Ajeng mengangguk dan menerawang masa lalunya sambil menatap langit-langit dinding kamar yang kami tempati.

"Iya, semua salah Tante... kecelakaan itu akibat Tante yang terlalu mengantuk dan akhirnya mobil yang kami tumpangi jadi lepas kendali dan akhirnya menjadi terbalik," ucap Tante Ajeng. Dari cara ia bercerita pun aku tau ini berat baginya. Rasa bersalah dan sesal bertumpuk ada di pelupuk matanya membuatku membasahi kerongkonganku yang tiba-tiba serat dan kering.

Aku mengulurkan tanganku saat satu tetes air mata jatuh dari mata Tante Ajeng dan menghapusnya. Tante Ajeng sepertinya terkejut dengan perlakuanku, tetapi aku membalasnya dengan tersenyum.

"Semuanya udah masa lalu Tante. Sekarang masa depan. Sekarang di mana saatnya kita tata dengan baik masa depan bukannya menyesal pada masa lalu. Tante nggak perlu khawatir, Ocha janji bakalan bahagia kok Tante," ucapku sambil mengulas senyuman yang membuat kedua mata Tante Ajeng kembali berkaca-kaca dan dia memelukku erat.

Aku membalas pelukan Tante Ajeng seperti memeluk Bunda yang selalu sigap menjadi penopang hatiku di saat aku terjatuh.

"Sekarang, panggil Tante dengan sebutan Mama ya?" ucap Tante Ajeng lalu menghapus air matanya sendiri setelah melerai pelukan singkat kami.

A Little LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang