"Sesakit apapun yang aku rasakan. Aku masih sanggup bertahan." -Ocha
***
Jika mentari hadir.
Aku akan berdoa untuk yang pertama kali dengan sepenuh hati, sepenuh raga dan sepenuh jiwa. Untukmu.
Jika bulan hadir.
Aku akan mempersembahkannya untukmu. Kan kubuat istana megah di sana untukmu.
Jika Tuhan berkenan nanti, aku ingin sekali saja menjadi orang yang dianggap sangat istimewa olehmu.
Malam berselimut gelap. Hari berselimut kalbu dan bintang berselimut gemilang terang.
Semuanya berlebur menjadi senyummu yang tampak sangat mahal untukku.
Lukai aku sekali lagi.
Lukai aku semaumu.
Ketika tak mampu menemukanku lagi di dalam bait-bait kepahitanmu di dalam hidupku maka saat itu aku masih fasih menyebutmu sebagai sakit yang teramat dalam.
Aku akan kembali menyebutmu sakit yang paling nadir. Aku akan tersedu mengingat luka dan sakit yang terbangun dengan tinggi sehingga hilang sudah kebahagiaanku.
Lukai aku sekali lagi, agar aku mengingat kembali bagaimana caramu menyakitiku.
Bagaimana caramu menghinaku.
Bagaimana caramu menjauhiku.
Bagaimana caramu membenciku.
Dan, bagaimana caramu membuatku terjatuh dengan kepingan-kepingan hati yang sudah habis menjadi butiran debu.
Hingga tertinggalah tabah untuk hati yang sudah hancur.
-Ocha
***
RAMA POV
Aku terduduk sendiri. Didepan Papa yang menatapku dengan tatapan menghujamnya. Aku sangat tahu bahwa dia marah, tetapi dari dulu beliau tidak pernah bisa marah kepadaku karena katanya sifatku sangat mirip Mama. Tidak mau mengalah, disalahkan dan dimarahi serta apapun yang sudah menjadi milikku tidak bisa diganggu gugat dan sejak kecil yang sering mengalah adalah Raka, bukan aku yang notabene adalah Kakaknya.
Papa mengembuskan napas kasarnya yang masih bisa aku dengar meski dia duduk di sofa depanku. Sebenarnya Papa bisa saja menghajarku habis-habisan sekarang juga karena aku memperlakukan Ocha seperti itu, tetapi Papa hanya diam di depanku dengan tangan bersedekep di dada. Dan ini adalah puncak kemarahan Papa. Dia akan lebih banyak diam kalau dia 'benar-benar' marah.
"Jelaskan," suara Papa membuatku mendongak. Jelas sekali suaranya sangat marah dan tegas. Wajahnya memerah. Aku tidak pernah melihat Papa semarah ini terhadapku. Oke, memang aku salah menampar Ocha dua kali. Aku tidak bisa mengontrol diriku sendiri tetapi dia sudah sangat lancang masuk ke dalam kamarku dan menghina Lisna seperti itu.
"Jelaskan, Rama," desis Papa membuatku menatapnya secara penuh.
"Rama nampar Ocha Pa," ucapku. Papa masih tetap diam di depanku. Dia hanya menatapku dengan dahi berkerut yang menandakan dia sedang berpikir sangat keras.
Dia menggeleng pelan. "Dua kali nak. Di depan mata kepala Papa sama Mama kamu nampar dia tanpa perasaan juga ngomong kata-kata yang gak pantes. Kamu menyakiti hatinya. Apa ini yang Papa ajarkan sama kamu selama ini? Apa ini juga yang sering kamu lakukan kepadanya?" ucap Papa dengan tatapan intimidasinya yang membuat nyaliku benar-benar menciut. Hilang sudah keberanianku.
Aku mengangkat kepalaku sambil menatap Papa. Rasanya aku ingin berteriak bahwa 'Kenapa dulu menikahkanku dengan gadis sialan itu kalau tidak ingin dia seperti itu!' Tetapi aku tidak bisa. Aku masih tau sopan santun terhadap orangtuaku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Little Love
Teen Fiction[Sebagian cerita ini di private, follow dulu baru bisa baca] Rama Dwipayana dan Ocha Aryasastra terjebak dalam takdir hidup yang mempermainkan mereka. Rama dan Ocha adalah siswa dan siswi SMA yang menikah di usia muda mereka karena perjodohan. ...