29. Terbalas Sepenuhnya

115K 9.1K 308
                                    

Jangan lihat masa lampau dengan penyesalan; jangan pula lihat masa depan dengan ketakutan; tapi lihatlah sekitarmu dengan penuh kesadaran. —James Thurber.

***

OCHA POV

Disinilah kami. Dipantai. Aku bingung sama Kak Rama. Dia malah mengajakku ke pantai bukan pulang. Tapi aku tidak masalah sih dengan ajakannya kemari. Aku melihat dia keluar mobil. Tanpa pikir panjang aku pun juga keluar bersamanya. Sejuknya angin menerbangkan rambutku.

"Kesana yuk, Cha!" ajaknya. Belum sempat aku berkata dia sudah menarik tanganku mendekati pantai. Dia mengajakku ke bibir pantai.

"Jangan lari-lari," ucapku kepadanya saat kami sudah berada di bibir pantai.

"Oh iya, maaf," ucapnya seakan tersadar tersadar.

Kami terdiam lama.

"Aku jadi inget pas kita di deket rumah kamu pas di danau itu." suaranya membuatku menoleh dan tersenyum. "Kamu inget gak, Cha?" tanyanya. Iya aku ingat. Saat itu kami masih kecil dan dulu aku manggil dia Ama. Bahkan wajah kak Rama yang dulu sangat berbeda dengan yang sekarang.

"Iya inget," kataku. "Oh ya, Raka itu udah tunangan ya?" ucapku bertanya. Kak Rama menoleh dan mengangguk samar.

"Udah. Dia tunangan sama anaknya Om Yasa sama Tante Dina yang kedua. Namanya Rea."

Aku manggut-manggut mendengarnya.

"Em yang culun itu kan ya?" tanyaku dengan hati-hati.

"Sebenernya gak culun. Gak tahu aja kamu gimana sifatnya kalau di rumah. Susah di atur dan kata Raka dia nyebelin parah," ucap kak Rama membuatku mengerutkan keningku.

"Masa sih? Dia baik kok sama aku," ucapku mengingat percakapan kami saat di bus waktu itu. Kejadian itu membuatku tau dia cewek baik-baik.

"Emangnya kamu pernah ngobrol sama dia?" tanya Kak Rama membuatku mengangguk.

"Pernah. Waktu itu aku naik bus dan dia juga naik bus yang sama. Kita akhirnya duduk bersebelahan." Kak Rama menganggukan kepalanya mendengar penuturanku.

"Aku juga gak tau. Dia kalau ke sekolah emang culun. Bahkan sering kena bully temen-temennya di kelas tapi dia diem aja di tindas sama temen-temennya dan Raka bakalan susah sendiri nantinya."

"Kok susah?" tanyaku heran.

"Ya dia harus ngobatin Rea gara-gara di bully. Dia harus nganter Rea pulang tapi diem-diem, jangan sampe ada yang liat karena Rea gak mau sampe ketauan kalau mereka udah tunangan. Raka tuh baik banget orangnya dan dia juga humoris kaya Papa tapi gampang diperdaya," ucap Kak Rama membuatku beroh-ria. Aku baru tau.

"Kita sama Raka kebalikan ya?" ucapnya membuat mataku berkerjap cepat. "Ngerti 'kan maksudnya?" ucapnya lagi membuatku mengangguk paham.

"Tapi sekarang 'kan udah beda," ucapnya lagi dengan suara yang aku tau dia mulai gombal.

"Tapi Rea pernah bilang sama aku kalau dia tunangan cuman karena kemauan Papanya. Bisnis gitu."

Kak Rama malah tertawa. Apanya yang lucu? Sejenak aku menatapnya. Dia tambah ganteng kalau ketawa.

"Kok ketawa sih, Kak?" tanyaku membuat dia berdehem pelan—agar tawanya berhenti.

"Itu kongkalikongan Papa sama Om Yasa. Kalau gak kaya gitu, Rea gak bakalan mau," ucapnya, "Raka sebenernya udah dari lama suka sama Rea. Dari kecil. Tapi gak berani bilang. Emang sih Rea nyebelin tapi tetep aja Raka suka. Udah aku suruh nyatain cinta dia malah gak mau. Katanya sama hubungan yang gak jelas begini dia udah nyaman. Dia takut dijauhin Rea kalau dia ngomong suka sama Rea," ucap Kak Rama membuatku mengangguk—tanda mengerti.

"Kenapa sih nanya kaya gitu?" tanya Kak Rama saat kami tadi terdiam lama.

"Gak pa-pa. Cuman iseng aja." Dia bergumam seakan mengerti padalah aku ingin berkata bahwa Rea suka sama Tera. Tapi sepertinya itu akan memperburuk keadaan. Pandangan mata Kak Rama tak lepas dariku. Aku gelisah lalu mundur sedikit karena ditatap seperti itu.

"Kok mundur? Sini dong." Dia menarik tanganku hingga aku terkejut setengah mati.

"Kak Rama pulang yuk," ucapku mulai gelisah.

"Kok pulang? Apa kamu gak mau jalan-jalan sehabis ulangan?" ucapnya. Aku menggeleng pelan menjawabnya. Mau ngomong pun rasanya aku susah.

"Yaudah yuk kita pulang."

"Eh tunggu kak," ucapku saat dia hendak mengajakku balik. Dia hanya menatapku dengan pandangan—apa?

"Ada bunga kecil di rambut kak Rama," ucapku. Dia mengerutkan keningnya. Aku berjinjit hendak mengambil bunga kecil itu. Tanpa sadar aku menatap mata Kak Rama yang juga menatapku. Aku mengalihkan pandangan lalu membuang sembarang bunga kecil itu. Kak Rama membawaku ke dalam setengah dekapannya lalu perlahan dia menatapku.

Aku tidak bisa napas

Dia tersenyum kepadaku. Begitu tulus dan tanpa sadar dia memberiku kecupan di bibir yang membuat seluruh tubuhku membeku.

***

Aku memejamkan mata mengusir rasa berdebar itu dari dalam diriku. Bayangan-bayangan itu kembali menghantuiku. Astaga aku bahkan sudah seperti orang gila yang senyum-seyum sendiri sejak tadi. Saat ini aku berada di dalam kamarku yang berada di apartemen Kak Rama. Sejam yang lalu kami sudah pulang. Tidak ada pembicaraan dari kami. Sebenarnya Kak Rama sudah memancing dan mengajakku berbincang kecil agar aku tidak gugup kepadanya, tetapi tetap saja aku tidak bisa. Aku masih gugup dan takut kepadanya.

Bohong besar kalau dulu aku berani kepadannya, karena pada dasarnya aku masih takut dengannya.

"Cha," Panggilan itu membuatku menatap ke arah kaca. Kak Rama berdiri di depan pintu. Dia memakai baju kaos putih—baju dalam yang ia gunakan saat memakai seragam sekolah tadi dan celananya kini celana pendek selutut berwarna merah.

Aku berdiri lalu merunduk tidak mengatakan hal apa pun.

"Apa aku ganggu?" tanyanya. Aku menatapnya dan menggeleng pelan. Perasaan berdebar itu masih terasa keras di jantungku. Dia malah duduk di atas ranjang sambil menatapku dan aku masih berdiri layaknya orang linglung di dekat meja rias.

"Kamu takut banget ya sama aku?" ucapnya. Aku menggeleng pelan dan mencoba duduk di kursi meja rias—menghadap ke arahnya. Itu pun masih memberi jarak untuknya.

"Enggak," kelahku berbohong karena sejujurnya tidak begitu. "Siapa bilang?" tanyaku lagi.

Dia tersenyum miring, "Jangan bohong deh," ucapnya seakan tau apa isi hatiku.

"Oh ya kenapa kakak ke sini?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Ya emangnya gak boleh?" tanyanya. "Kan ini apartemen aku." Aku mengangguk membenarkan. Benar juga ini apartemennya.

"Tapi sekarang apartemen kita bertiga," ucapnya membuatku mendongak—menatapnya. Agak geli mendengarnya seperti itu tapi aku suka.

"Bertiga?" ucapku sedikit bingung.

"Iya, bertiga." ucapnya. Ada sirat keyakinan di matanya, "Kamu, aku, sama dia," ucap Kak Rama. Wajahku panas menjalar sampai telinga. Kata-katanya benar-benar apa adanya. Bahkan aku yakin kalau orang lain yang mendengarnya—tanggapan mereka pasti akan biasa saja. Tetapi tidak untukku. Aku malah merasa perkataannya manis sekali. Dia mendekatiku lalu berjongkok di samping.

"Cha, janji ya jangan tinggalin aku?" ucapnya memberiku kelingking tangan kanannya. Dia tersenyum sangat manis yang membuatku ikut membalas senyumannya. Kuseret sedikit kursi agar mendekat ke arahnya.

"Iya aku janji," ucapku mengaitkan kelingkingku di jari kelingkingya.

Kami diam sama-sama tersenyum satu sama lain. Dan ternyata akhirnya cintaku terbalas sepenuhnya.

***

Follow instagram: PoppiPertiwi & Wattpadpi
Add juga Line: @xgv8109t   [ inget ya pake at (@) ]

A Little LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang