23. Menguap Hilang Entah Kemana

138K 10.2K 693
                                    

"Tak ada kesedihan yang sia-sia. Percayalah, waktu akan menyusun pecahan-pecahan kesedihan itu agar kembalinya kebahagiaanmu."

***

RAMA POV

Ocha sedang tidur pulas di dalam kamar rumah sakit dan aku hanya bisa diam melihatnya dari arah luar. Dia memang menangis hebat tadi di pelukanku dan aku terus berusaha menenangkannya. Dia tidak membalas pelukkanku tadi. Sakit memang tetapi lebih sakit melihatnya menderita seperti ini.

Dia tidak berkata apapun lagi tadi. Dia hanya menarik dirinya dari pelukanku setelah lelah menangis dan berjalan masuk ke dalam kamar rawat inapnya sendiri.

Aku sebenarnya ingin memanggil dan mengejarnya tetapi rasanya aku harus memberinya waktu. Bersabar. Ya, aku harus bersabar agar ia bisa memaafkanku meski aku tau dia pasti akan sulit memaafkanku.

Tetapi setidaknya sekarang aku bersyukur melihatnya. Setidaknya dia dalam keadaan baik-baik saja saat ini dan juga mungkin mulai luluh. Perlahan-lahan aku akan mengubah Ocha kembali padaku.

Aku tidak mau melihatnya yang sinis seperti kemarin-kemarin. Aku ingin dia kembali. Benar-benar kembali seutuhnya. Menjadi Ocha yang lembut hati, penurut dan kuat. Mejadi Ocha yang benar-benar tegar kembali.

"Rama kenapa gak masuk?" pertanyaan Mama membuatku menatapnya.

"Enggak, Ma. Nanti aja," ucapku. Dari sudut mataku aku melihat Papa, Raka, dan Ayah mertuaku datang. Ayah mertuaku hanya diam menatapku. Mungkin saja dia sedang mengontrol emosinya, karena akulah penyebab anaknya begini.

"Mama tau kamu pengin masuk ke dalam. Masuk aja, temani dia. Dia butuh kamu," ucap Mama lembut sambil mengusap rambutku. Aku berpikir sebentar. Sepertinya itu memang sudah tugasku untuk menemaninya.

"Ma. Pa. Apa boleh tinggalin Rama berdua disini sama Ocha?" pintaku kepada Mama dan Papa.

"Tolong biarin Rama nebus semua kesalahan Rama selama ini. Seengaknya mungkin Rama bisa pelan-pelan coba ngebujuk Ocha," ucapku. Mereka semua terdiam menatapku dalam-dalam.

Mama menatap Papa lalu Papa hanya menganggukan kepalanya dengan senyum kecil, "kamu boleh ngejaga dia sekarang. Tapi besok pagi kami akan kesini dan memantau kalian lagi," ucap Papa membuatku tersenyum.

"Iya sayang. Tapi jangan terlalu diajak berpikir keras Ochanya. Kasian dia butuh istirahat," kata Mama.

"Makasi ya Ma," ucapku. Mama menggeleng pelan.

"Bukan sama Mama tapi sama Raka. Dia yang ngejaga Ocha selama ini bahkan dia sampai bolos les. Pantes aja Raka selalu pulang malam-malam dan kadang gak pulang. Alesannya ngerjain tugas. Ternyata dia ngejaga Ocha disini," tutur Mama membuatku menatap Raka yang tersenyum kecil saat aku meliriknya.

"Kalau gitu Mama sama Papa pamit sekarang ya. Ada urusan di rumah Kakek sama Nenek kamu. Jaga dia baik-baik. Jangan sakitin dia lagi," ucap Mama membuatku mengangguk.

"Iya Ma, pasti," ucapku.

Ayah mertuaku mendekat. Dia menatapku dengan kedua mata menusuknya, "Tolong jaga dia. Saya cuman punya dia, Ram. Saya sayang banget sama dia. Dia pantas bahagia dan saya tau dia bener-bener suka sama kamu. Ayah mohon jangan sakiti dia lagi karena dia udah cukup terluka akibat perlakuan saya selama ini," ucap Ayah dengan nada menyesal.

Aku mengangguk. "Pasti Ayah. Pasti," ucapku penuh kepastian terhadapnya. Dia menepuk pundakku selama tiga kali lalu berjalan bersama Mama dan Papa yang hendak pulang melewati lorong rumah sakit yang sepi.

Sekarang yang tersisa hanya aku dan Raka.

"Makasi, Bro udah jaga Ocha," ucapku terhadap adik satu-satunya yang aku miliki itu. Dia masih berada di hadapanku.

A Little LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang