20. Cinta atau Benci

158K 11.6K 853
                                    

"Cinta itu butuh luka sebagai perantaranya."

****

OCHA POV.

Aku bohong.

Aku membohongi hatiku. Aku membohongi perasaanku. Aku membohongi diriku sendiri dan aku juga berbohong kalau aku tidak mencintai kak Rama. Bagaimana pun dia aku tetap mencintainya. Meskipun kemarin kami melakukan itu tetapi aku sadar yang ada dihatinya hanya kak Lisna. Yang dia bayangkan bukan aku.

Rasanya semilir angin juga ikut menertawakan kebodohanku. Kebodohanku karena mencintainya. Keodohanku karena berharap dia mencintaiku.

Aku gagal. Aku tidak bisa bahagia. Aku memejamkan mataku rapat-rapat. Rasanya seperti tertusuk-tusuk oleh ribuan jarum. Aku tidak bisa bahagia. Aku tidak bisa membuat kak Rama bahagia. Aku tidak bisa mempertahankan hubungan rumah tanggaku karena pada dasarnya kami memang sudah salah dan aku malah lebih memilih memperjuangkan yang sama sekali aku tau bahwa itu tak akan berhasil.

Lalu untuk apa mempertahankan orang yang tidak membalas cintamu?

Percuma. Sia-sia.

Aku menatap nanar ke arah depan. Sebenarnya aku tidak punya nyali untuk kemari tetapi hanya kemari aku bisa mengadu. Hanya di sini aku bisa merasa tenang dan hanya disini aku bisa merasakan kasih sayang. Setidaknya, aku masih bisa pulang. Pulang ke tempat yang benar-benar mengerti tentang perasaanku.

"Bunda Ocha dateng, " ucapku.

"Maafin Ocha bunda. Maafin Ocha," ucapku dengan suara pelan. Aku hanya bisa merunduk. Keheningan menyelimutiku. Sepi ini merajukku dalam kemanjaan tangis.

Bajuku basah. Rambutku basah dan aku tidak peduli bagaimana pemampilanku sekarang. Penampilanku sudah seperti orang gila tetapi aku sama sekali tidak peduli. Yang aku butuhkan sekarang adalah ketenangan. Aku butuh ketenangan untuk hatiku yang sudah hancur.

Aku menghela napas.

Sekuat apapun aku berusaha membencinya. Sekuat apapun aku berusaha untuk jauh darinya. Aku tetap tidak akan bisa. Aku terlalu lemah untuk itu sampai-sampai dibutakan oleh kebodohanku sendiri.

"Ternyata bener kamu Ocha." suara berat penuh kelegaan itu sempat terdengar dari telingaku dan aku sudah tidak sadar akan hal apapun lagi akibat pandanganku yang mulai gelap gulita.

***

RAMA POV

Tiga minggu. Rasanya sungguh menyiksaku. Aku merasa terbunuh tiap detiknya. Aku merindukannya. Aku sangat merindukannya. Aku bagai patung hidup yang berjalan. Aku tidak sanggup hidup tanpanya. Aku tidak tau dia dimana dan aku sudah mencarinya kemana-mana tetapi dia tidak ada di mana-mana. Kemana lagi aku harus mencarinya?

Aku memukul pintu kamarku sendiri. Di tempat ini aku memperlakukannya dengan tidak patas. Aku bukan manusia. Aku bukan manusia.

Aku bukannya takut kepada Mama dan Papa atau Papa Marco atas menghilangnya Ocha tetapi aku takut terjadi sesuatu kepadanya. Aku mengkhawatirkannya. Sungguh aku benar-benar mengkhawatirkannya. Di mana dia? Bagaimana keadaannya? Apa dia sudah makan? Apa dia semakin membenciku?

Aku juga belum memberi tahu Mama dan Papa tentang hal ini tetapi cepat atau lambat mereka pasti akan tahu juga karena mereka tidak bodoh.

Ocha seperti menghilang ditelan bumi.

Rasanya kosong. Tidak ada senyumnya yang manis. Tidak ada sapaannya yang riang dengan mata berbinar saat menatapku yang selalu aku tanggap dingin. Tidak ada yang membuatkanku masakan yang dulu tidak pernah aku sentuh.

Aku berjalan memasuki kamarnya. Setiap hari aku tertidur disini. Kamarnya sudah bersih karena aku membersihkannya tetapi barang-barangnya tetap aku simpan. Aku tidak tahu harusnya ke mana lagi.

A Little LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang