Prangg....pranggg!!!!
Terdengar pecahan piring dari ruang tengah rumah kecil nan sederhana itu. Rumah yang hanya terdiri dari empat ruangan, yaitu satu kamar tidur, dapur, kamar mandi serta ruang tengah yang menjadi ruang tamu sekaligus ruang keluarga. Dari balik pintu, seorang anak kecil laki-laki yang berpakaian lusuh mengintip apa yang terjadi di ruang tengah. Tangan mungilnya mengepal di papan pintu saat melihat perkelahian itu, perkelahian yang tiada berujung.
Semakin hari sang papa semakin menjadi-jadi. Selalu pulang malam, dan saat paginya Ia bangun sambil marah-marah. Dan yang menjadi sasaran empuk utnuk meluapkan emosinya adalah sang mama atau anaknya sendiri. Seperti saat ini, entah kesalahan apa yang dilakukan oleh wanita yang telah Ia nikahi selama kurang lebih 9 tahun ini, hingga menyebabkannya begitu marah. Tangan Pria itu menggantung di udara saat seorang anak kecil berlari dari balik pintu dan segera memeluk wanita yang hendak Ia pukul.
"Cukup Pah. Kenapa papa selalu mukul mama?" Tanya anak kecil yang saat ini tengah melindungi sang mama yang terkapar di lantai.
"Ini semua gara-gara kamu! Semenjak ada kamu, semuanya menjadi lebih sulit!"
"Kenapa Mas ngomong seperti itu? Rian adalah buah cinta kita, mas." Lirih Aisha sambil berderai air mata.
"Aku tidak pernah mengharapkan anak ini!"Ucap pria itu sarkatis sambil berkacak pinggang.
"Dan Rian juga tidak pernah meminta untuk dilahirkan seperti ini!" Sebulir air mata membasahi pipinya, kemudian anak kecil yang bernama Rian itu lari meninggalkan rumah. Berlari sejauh mungkin dari rumah yang seolah neraka baginya. Hingga Ia tiba di sebuah taman bermain.
"Kami gak mau main sama anak haram! Nanti ketularan sialnya. Ya gak teman-teman?" Rico, anak paling kaya di kompleks ini.
"Kamu itu gak selevel sama kami, jadi mending kamu pergi deh dari sini!" Usir Dinda tak berperikemanusian.
"Anak haram....Anak Haramm..." Teman-temannya yang lain besorak sambil melemparinya kerikil untuk mengusir Rian yang malang.
Lagi, lagi, dan lagi. Kehadirannya selalu tak diharapkan, dimanapun Ia berada seolah dunia menolaknya. Benar, siapa juga yang mengingkan kehadiran seorang anak haram, pikir Rian kecil.
Rian menangis seorang diri, Ia dekap tubuhnya sendiri dengan tangan mungilnya. Ia menangis meratapi nasibnya yang begitu mengenaskan. Terlahir sebagai anak haram, anak yang tak diharapkan oleh orang tuanya sendiri. Bukan hanya itu, Ia juga anak miskin yang orang anggap idiot. Bayangkan saja, diumurnya yang sebentar lagi 10 tahun Ia sama sekalibelum bisa membaca dan menulis. Jadi wajar saja bila kehadirannya ditolak oleh orang-orang diluar sana. Kesepian sejatinya telah menjadi sahabatnya selama ini.
Tiba-tiba sebuah sapu tangan terjulur ke hadapan Rian. Anak itu mendongak dan menemukan dua anak seumuran dengannya.
"Kata papaku, anak laki-laki nggak boleh nangis." Ucap anak yang menjulurkan sapu tangan.
Rian bangkit dari duduknya, Ia mengambil sapu tangan itu. beberapa detik Rian memandang sapu tangan itu, lalu pandangannya beralih ke anak yang tadi. "Jika aku tidak boleh menangis, lalu apa yang harus aku lakukan saat menerima ketidak adilan ini?"
"Tunjukkan kepada mereka bahwa kamu tidak seburuk apa yang mereka pikirkan." Ucapnya bijak.
"Percayalah! Bahwa Allah menciptakan manusia dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing." Anak yang satunya lagi berkata.
"Hei, Apa kamu tahu bagimana kisah julaibib?"
Rian menggeleng lemah.
Tanpa diminta, anak pemilik sapu tangan mulai bercerita, "Julaibib, sahabat rasulullah yang tidak dikenal oleh manusia tapi dikenal oleh Rabb-Nya manusia. Wajahnya jelek terkesan sangar. Pendek. Bungkuk. Hitam. Fakir. Kainnya using. Pakaiannya lusuh. Kakinya pecah-pecah tak beralas. Tak ada rumah untuk berteduh. Tidur sembarangan berbantalkan tangan, berkasurkan pasir dan kerikil. Tak ada perabotan. Minum hanya dari kolam umum yang diciduk dengan tangkupan telapak tangan."
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA TAK BERNAMA
SpiritualAisyah Ayudia Inara. Seorang gadis berumur 16 tahun yang dalam kesehariannya selalu menggunakan jilbab. Berbeda dengan sebagian besar gadis seumurannya yang selalu mendambakan seorang pacar, Nara justru sama sekali tidak pernah pacaran. Bukannya tid...