Waktu istrirahat tiba. Nara dan teman-temannya memilih menghabiskan waktu dengan duduk-duduk di meja bundar sekolah. Nara menyeruput es tehnya saat Intan kembali membahas tentang Reza. Cewek itu menghela napas, tak habis pikir seolah tak ada hal lain yang bisa dibicarakan selain cowok yang satu itu.
"Gue muak banget sama tuh cowok. Masak ia mesra-mesraan di depan Nara sama Dinda. Maksudnya apaan coba?"
"Whatt?? Dinda lagi?" teriak Dita dengan tangan terkepal di atas meja. "Tuh cewek gak tahu malu banget! Sok nyari perhatian sama Reza lagi."
"Kamu gak bisa nyalahin Dinda dong, yang gak tahu diri itu si Reza." Ucap Intan mematahkan argument dita. "bilangnya suka sama Nara, tapi kelakuannya gitu."
"Udahlah. Jangan menilai hanya dari satu sisi, karena kita tidak tahu apa yang mereka alami." Ucap Nara dengan dengan bibir tersimpul ramah.
Seperti biasa, Nara mencoba bersikap tenang seolah tidak ada yang terjadi. Dan selalu berkata tidak apa-apa tanpa Ia sadari bawha ada yang terluka. Kenyataan memang seperti itu, bibir kadang tak selaras dengan hati. Tapi kali ini, Nara pun hanya bisa mengingkari tanpa menyadari. Ia tak pernah tahu bahwa hatinya diam-diam berpindah diri. Karena memang manusia takkan menyadari cinta sebelum merasakan luka.
Nara tak mau ambil pusing dengan peristiwa yang dilihatnya kemarin sore. Karena Ia tahu bahwa dirinya tak berhak untuk marah atau pun terluka. Tapi yang menjadi masalah adalah kedua sahabatnya tak terima bagaimana Nara diperlakukan. Seperti saat ini, mereka melontarkan segala keburukkan Reza yang ujungnya menyebabkan pertikaian.
Tiba-tiba Dinda muncul dan tak terima dengan segala perkataan yang telah terucapkan. "Hei. Kalian gak tahu apa-apa tentang Reza. Jadi mending jaga omongan kalian, deh. Gue gak nyangka, orang yang ngakunya baik ternyata bisanya Cuma ngomongin orang doang." Ungkap Dinda. "Malu sama jilbab dong!" Lanjut Dinda dengan mengibaskan jilbab Nara.
"Lo siapa sih? Teman Reza? Bukan. Keluarga, juga bukan. Pacar. Juga bukan. Tiba-tiba datang, bela Reza dan menyalahkan Nara." Dita angkat bicara tak terima sahabatnya direndahkan.
"Gue gak menyalahkaan siapa pun. Gue cuma bilang, orang yang kalian lihat baik belum tentu baik. Pun dengan Reza yang kalian nilai buruk. Mereka yang terlihat baik, bisa saja Iblis yang menyamar menjadi malaikat, kan? Sama seperti pacar lo!" Dinda memandang Dita dengan tatapan mengejek dan senyum skeptisnya.
Dita bangkit. "Maksud lo apa? Bawa-bawa nama Rian, hah?!" Dita berjalan mendekati Dinda dan kemudian sedikit mendorongnya.
Dorongan itu layaknya tantangan bagi Dinda. Cewek itu tak membalas dengan fisik, melainkan dengan perkataan yang berhasil membuat Dita semakin geram.
"Lo pacarnya Rian, tapi gak tahu apa-apa tentang kehidupannya. Lo gak pernah tahu siapa keluarganya. Dan lo juga gak tahu tentang hatinya," Dinda tersenyum licik sebelum melanjutkan ucapannya. "Gue jadi curiga kalau lo hanya pelarian saja."
Dita menghela napas. Kedua tangannya terkepal kuat. Matanya tajam, menusuk Dinda tepat di irisnya. Pertikaian berlanjut hingga mengundang siswa-siswi untuk tahu apa yang terjadi. Para siswa kini mulai mengerumun membentuk lingkaran dan menonton kejadian tanpa tahu inti permasalahan. Sementara itu, Nara yang berada diantara mereka tak tahu harus berbuat apa. Pun demikian dengan Intan yang mencoba melerai. Tapi tak berhasil sampai...
"Dita!"
"Dinda!"
Teriak Rian dan Reza yang kini tiba-tiba sudah datang dan menyeruak kerumunan para siswa yang menonton. Reza mencekal pergelangan tangan Dinda erat, dan menarik tubuh cewek itu ke belakang tubuhnya. Kini Reza memperhatikan Rian yang juga mencekal pergelangan tangan sang kekasih.
"Maaf atas tindakan Dinda."
Ucapan itu berhasil menyihir pendengarnya untuk ternganga. Mereka tak menyangka, permintaan maaf itu keluar dari mulut Reza. Kini mereka mulai bertanya, siapa Dinda hingga Reza tak perlu berpikir dua kali meminta maaf untuknya?
Setelah itu, Reza menarik tangan Dinda dan pergi meninggalkan tempat yang masih dikerumuni para siswa. Cowok itu menghentak tangan Dinda saat menemukan tempat yang cukup sepi untuk berbicara.
Reza menghela napas sebelum marah dan membentak Dinda. "Lo kenapa sih? Muncul dihadapan gue tanpa diundang dan sekarang membuat keributan. Nara dan temannya tidak ada hubungannya dengan masalah kita. Jadi lo gak usah cari masalah sama mereka."
"Tapi gue gak terima apa yang mereka katakan tentang lo!"
"Terserah mereka mau ngomomg apa. Gue gak peduli. Toh penilaian manusia juga tidak akan membuat lo lebih baik atau lebih buruk. Tapi Gue gak suka lo bertengkar hanya gara-gara gue. Itu membuat gue semakin lebih brengsek."
"Dengan kata lain, kamu khawatir dan peduli sama aku." Dinda membuat kesimpulan sendiri tanpa mampu dibantah oleh Reza. Cewek itu tersenyum dan berujar, "karena sebesar apapun kamu berubah, tapi hatimu tidak akan pernah berubah Reza. Masih sama seperti sebelum kamu mengenal Nara."
"Sok tahu!" Reza menoyor kepala cewek itu dan kedua alisnya tertaut ketika menyadari sesuatu. "Aku baru sadar, sejak kapan kamu tidak menggunakan jilbab?"
Wajah Dinda tertekuk. Menunduk. "Sejak kamu berubah menjadi Reza yang tak kukenal!" Dinda berujar pelan dan perlahan mendongak. Memberanikan diri menatap Reza.
Reza bungkam. Dalam diam, Ia memandang. Mencoba berenang dalam bola mata milik Dinda untuk mencari jawaban. Perlahan dia mulai menemukan. Menemukan kenyataan bahwa selama ini bukan hanya Ia yang terjatuh dalam keterpurukkan. Faktanya, gadis ini pun rapuh karena tak ada pegangan. Ahh, aku egois! Reza berteriak dalam kebisuaan. Ia masih tenggelam dalam lamunan, sebelum tangan kecil menuntunnya menuju realita kehidupan.
"Tidak bisakah kita seperti dulu lagi?" Tanya gadis itu dengan polos.
Seperti dulu? Sulit untuk Reza. Mengiyakan permintaan itu sama saja Ia harus kembali ke masa lalu. Suatu masa yang membuat Ia terluka dan kehilangan asa. Tapi kali ini, Ia tak mau egois hingga membuat orang lain menangis.
"Akan ku coba!" kata yang sulit bagi Reza akhirnya terucpakan dalam satu tarikan napas lega. Ia melepaskan genggaman itu dan berbalik meninggalkan Dinda yang termangu.
Mencoba.
Satu kata yang cukup membuat Dinda termangu karena bahagia. Ia tahu Reza akan menepati janji yang telah dibuatnya. Perlahan bibir kecil itu tertarik membentuk lengkungan yang sempurna. Matanya mengawasi kepergian Reza. Menatap bahu yang dulu tempatnya bersandar saat kelelahan. Punggung lebar yang selalu melindunginya dari hujatan. Tangan yang penuh dengan kehangatan dan bibir yang selalu tersenyum untuk mengahapus kesedihan. Dinda merindukan hari-hari itu. Hari dimana mereka tertawa bersama. Dan hari ini, Ia menemukan asa tentang akhir cerita hidup yang bahagia.
Mencoba.
Satu kata yang juga membawa luka. Bukan untuk Dinda. Tapi untuk seseorang yang perlahan membuka mata. Terbangun dari mimpi yang membuatnya terlena. Dan mulai menyadari bahwa rasa itu nyata. Ada rahasia antara dinda dan reza yang tak pernah ia duga.
---------------------
04-01-2017
Hollaaaa.... Aku kembali lagi.
Kuyyy di vote and comment!
Hope you like it :)
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA TAK BERNAMA
SpiritualAisyah Ayudia Inara. Seorang gadis berumur 16 tahun yang dalam kesehariannya selalu menggunakan jilbab. Berbeda dengan sebagian besar gadis seumurannya yang selalu mendambakan seorang pacar, Nara justru sama sekali tidak pernah pacaran. Bukannya tid...