Ucapan Dinda benar adanya. Ia berstatus sebagai Pacar Rian. Tapi ternyata, dimana Rian tinggal pun tak diketahuinya. Dita merenggut dan mulai mempertanyakan status itu.
"Sebenarnya kamu menganggap aku ini siapa, Rian? Aku merasa bodoh karena nggak tahu apa-apa tentang kamu."
"Udahlah. Kamu gak usah dengar apa kata Dinda. Kamu lebih percaya sama dia ketimbang aku?"
"Bagaimana aku mau percaya, jika kamu saja tidak mempercayaiku sebagai teman bercerita. Kamu selalu diam saat aku bertanya. Aku merasa Dinda yang baru saja muncul lebih mengenalmu dibandingkan aku yang kamu anggap pacar!"
Dita menatap Rian dengan wajah tertekuk sebelum berlalu meninggalkan Rian. Sementara itu, Rian hanya mampu menghela napas melihat punggung ceweknya yang kian menjauh. Ini bukan sinetron dimana si tokoh cowok akan memanggil dan mengejar si cewek. Rian tak mengejar karena ia pun butuh ruang untuk sendiri. Rian ingin sendiri saja bersama angin menceritakan seluruh rahasia, lalu meneteskan air mata.
"Jangan dipendam sendiri. Teman hadir untuk berbagi." Celutuk Aldo yang tiba-tiba muncul.
Rian menyeka bulir bening yang hampir saja terjatuh. "Teman? Lo masih nganggep gue sebagai teman? Gue pikir lo juga benci sama gue yang brengsek."
"Setahu gue, lo yang nggak menganggap gue teman. Apa gunanya membenci jika itu hanya menambah luka?"
Rian menoleh. Mencari sebuah ketulusan dalam mata cokelat sahabat kecilnya. Sahabat yang dulu tempatnya berbagi. Tak jarang pula menampilkan bagian terlemah dari dirinya yaitu air mata. Ah, Rian mulai merindukan masa-masa itu. Masa kecil tanpa beban dan masalah. Tertawa bersama disetiap tarikan tali yang menerbangkan layang ke angkasa. Bersama Aldo, Reza dan Dinda. Hingga sebuah kenyataan datang dan merebut kebahagian mereka. Meruntuhkan segala kenangan yang telah terukir indah. Dinda yang mulai membenci dirinya. Reza yang diam-diam terluka. Dan Aldo yang membisu tanpa suara. Hingga akhirnya Rian memilih menjauh. Seandainya waktu bisa terulang kembali, Rian ingin berada pada satu titik dimana mereka masih bersama. Tanpa harus tumbuh dewasa yang membuat mereka mengerti arti terluka.
Namun Rian sadar, itu hanya pengandaian yang tidak pernah mungkin menjadi kenyataan. Setidaknya Ia ingin memperbaiki, bukan mengenang atau bahkan melupakan. Sekarang, Ia mencoba kembali mendekat. Mendekap masa lalu untuk mengembalikan cinta yang telah lama sirna. Tapi hal itu semakin rumit. Saat ia mempermainkan perasaan seseorang karena keegoisan.
"Gue bingung dengan perasaan gue sendiri." Rian mulai bersuara.
"Soal Dita?"
Rian mengangguk pelan. Lalu menceritakan segalanya pada Aldo. Tak ada satu pun yang ditutupi. Karena Ia percaya teman kecilnya itu adalah pendengar setia yang akan menjaga rahasia. "Gue emang brengsek Do. Mencuri ciuman pertamanya disaat hati gue masih abu-abu." Ucap Rian mengakhiri ceritanya dengan muka yang tertekuk.
Aldo menghela napas. Coba memahami posisi Rian saat ini.
"Lo harus tegas sama perasaan lo sendiri."
"Gue tahu. Tapi gak mudah buat gue untuk ngambil keputusan. Gue takut mereka terluka."
"Mereka akan lebih terluka lagi kalau lo nyimpen hal ini lebih lama."
"Jadi gue harus jujur?"
"Sepahit apapun, ya lo harus tetap jujur. Cepat atau lambat mereka akan tahu." Aldo berujar sambil menepuk bahu kiri Rian, memberi kekuatan. Jujur memang sulit, tapi bukan berarti itu mustahil. "Lo yang mengawali, jadi lo juga yang harus mengakhiri. Cinta memang begitu. Selain siap untuk bahagia, lo juga harus siap untuk terluka." Aldo coba memperingatkan Rian.
Rian menyipitkan mata dan sedikit terkekeh untuk mencairkan suasana. "Lo gak pernah pacaran. Tapi omongan lo kayak Playboy cap kabel"
"Setidaknya itu yang gue baca. Gue gak pernah pacaran tapi pernah merasakan lewat tulisan. Hahaa."
Rian ikut tertawa. "Emang dasar kutu buku lo. Jangan bilang, kalau lo juga baca novel di wattpad?!"
"Why not?" Aldo mengangkat bahu, mempertanyakan pertanyaan yang lebih mirip pernyataan dari Rian.
"Soal ciuman, gue kecewa karena lo udah ngerebut hak yang menjadi milik suaminya kelak." Tandas Aldo sesaat setelah selesai tertawa dan berhasil membuat Rian tertegun.
"Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan. Dan tugas lo adalah memperbaiki kesalahan itu. Bukan lari seperti seorang pengecut. Tinggalkan atau halalkan!" Tegas Aldo.
Dua pilihan yang disodorkan Aldo membuat Rian mengerti.
"Begitulah cara islam mengajarkan kita bagaimana memuliakan seorang wanita. Lo sadar nggak? Apa yang terjadi sekarang, semuanya berawal dari hubungan yang tidak dibenarkan."
Rian lagi-lagi mengangguk. Aldo benar. Kekacauan yang terjadi pada hidup mereka berawal dari hubungan orang tuanya yang melahirkan kenyataan bahwa Ia adalah seorang anak haram. Cowok itu menghembuskan napas kasar. Mengusap wajahnya dengan dua tangan. Merutuki kebodohannya yang mengulang kesalahan orang tuanya lagi.
***
Sebelum Dinda mengambil air mineral yang berada di atas meja rias, ponselnya tergeletak tidak jauh dari gelas bergetar dan menayala. Dinda mengernyit. Kedua matanya terbelalak memandangi pesan di ponsel yang belum terbuka kuncinya. Pesan itu tiba-tiba membuat jantung Dinda berdetak lebih cepat, dan dalam waktu yang bersamaan Dinda berjingkrak kegirangan. Melupakan rasa haus yang tadi menderanya.
"Oh my god. Gue gak percaya ini!" Teriak Dinda histeris. Sangking bahagianya, beberapa kali Ia Mencium benda persegi panjang itu. Untung saja papi dan maminya sedang diluar kota, jadi tak ada yang melarang gadis itu berteriak seperti saat ini. Dinda merebahkan tubuhnya di atas kasur dengan tangan masih memegang handphone. Dinda kemudian men-scroll layar ponselnya, mencari kontak seseorang.
Dinda : Al-Do-dolll
Dinda : P
Dinda : P
Dinda : P
Dinda : P
Dinda : P
Dinda : P
Dinda : P
Dinda : P
Dinda : P
Dinda : Woi ! Bales chat gue. Cepet. Gak pake L.
Aldo : Berisik Woii.
Dinda : Bodo. Yang penting gue bahagia. Pokoknya gue lagi bahagiaaaa......Yuhuuuu.
Aldo : Ya udah si, bahagia. tapi jangan ganggu ketenangan gue juga
Dinda : Ya elah sirik banget lo lihat temannya sendiri bahagia.
Aldo : Lo kenapa sih? Lagi kesurupan arwahnya SHAGUN?
Dinda : Buset dah. Anak rohis tontonannya MOHABBATEIN. Hahaaa. Parahh!
Aldo : Serah gue.
Dinda : Dasar jomblo ngenes. mending ikutan TAKE ME OUT INDONESIA aja sana. Kali aja ketemu jodoh. Wkwkwkk
Aldo : Gimana kalau ternyata lo jodoh gue? Hahaaa
Dinda : Diihh jangan ngarep.
Dinda : WOII NYET, GUE MAU KITA SEPERTI DULU LAGI. LO BISA BANTU GUE?
Dinda : Pesan dari Reza yang buat gue bahagia tujuh keturunan.
Aldo : Lebay lo, Nyet.
Dinda : Kamprett. Jangan panggil gue kayak gitu. Fix kita musuhan.
Dinda melempar ponselnya sembarang. Bukan kesal. Melainkan bahagia gak ketulungan. Setelah menunggu sekian lama, akhirnya ia mendapatkan jawaban yang benar-benar membuatnya bahagia.
***
Yuhuuu.... Gue balik lagi.
Pendek? Iya tahu. Sengaja. Hahahaa. Jadi gimana nih? vote dan komen yess.
Udah si gitu doang. semoga suka.
See you next part!Selamat Sore dari tempat gue :)
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA TAK BERNAMA
SpiritualAisyah Ayudia Inara. Seorang gadis berumur 16 tahun yang dalam kesehariannya selalu menggunakan jilbab. Berbeda dengan sebagian besar gadis seumurannya yang selalu mendambakan seorang pacar, Nara justru sama sekali tidak pernah pacaran. Bukannya tid...